Menanti Sikap Jokowi Usai Permenaker Pencairan JHT Kembali Picu Kontroversi

Gelombang penolakan dari kalangan pekerja muncul setelah munculnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan atau Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua atau JHT.

oleh Liputan6.com diperbarui 13 Feb 2022, 18:41 WIB
Diterbitkan 13 Feb 2022, 18:31 WIB
Menteri Ketenagakerjaa, Ida Fauziyah
Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah.

Liputan6.com, Jakarta - Gelombang penolakan dari kalangan pekerja muncul setelah munculnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan atau Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua atau JHT. Dalam Permenaker tersebut diketahui bahwa JHT baru bisa dicairkan apabila peserta BPJS Ketenagakerjaan telah mencapai usia 56 tahun.

Ini bukan peristiwa pertama soal syarat pencairan JHT yang dinilai sebagian masyarakat kontroversial. Sebab, kejadian serupa pernah terjadi pada 2015. Ketika itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menetapkan Peraturan Pemerintah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Hari Tua yang berlaku pada 1 Juli 2015. PP itu juga mensyaratkan pencairan JHT secara penuh saat Peserta BPJS berusia 56 tahun.

Dalam pasal 22 ayat 1 PP Nomor 46/2015 disebutkan manfaat JHT adalah berupa uang tunai yang dibayarkan apabila Peserta berusia 56 tahun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap. Selain itu, dalam ayat 4 tertulis dalam rangka mempersiapkan diri memasuki masa pensiun, pembayaran manfaat JHT sebagaimana dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu apabila Peserta telah memiliki masa kepesertaan paling singkat 10 tahun.

"Pengambilan manfaat JHT sampai batas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling banyak 30% (tiga puluh persen) dari jumlah JHT, yang peruntukannya untuk kepemilikan rumah atau paling banyak 10% (sepuluh persen) untuk keperluan lain sesuai persiapan memasuki masa pensiun," tulis ayat 5.

Kalangan pekerja melontarkan protes keras dengan adanya PP 46 tahun 2015. Mereka ingin JHT bisa dicairkan penuh setelah masa kepesertaan tercapai tanpa menunggu usia 56 tahun. Terlebih saat itu terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara besar-besaran.

Gelombang protes tersebut membuat Presiden Jokowi memanggil Menteri Ketenagakerjaan kala itu, Hanif Dhakiri. Akhirnya, dikeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 19 Tahun 2015 mengatur manfaat JHT dapat diberikan secara tunai kepada peserta yang mengundurkan diri dengan masa tunggu 1 bulan sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan terkait.

Dalam Permenaker Nomor 19 Tahun 2015 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua disebutkan pada Pasal 3 juga tidak disebutkan spesifik usia pensiun. Bisa dibilang, JHT dicairkan tanpa perlu masuk masa pensiun hingga 56 tahun.

Kemudian, pada Pasal 5 dan 6 di Permenaker 19/2015 disebutkan karyawan yang mengundurkan diri dan terkena PHK, pemberian manfaat JHT dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 bulan terhitung sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan diterbitkan/ sejak tanggal pemutusan hubungan kerja.

Bunyi Pasal Permenaker

Kebijakan Baru BPJS Diprotes Puluhan Ribu Netizen
Kebijakan baru BPJS Ketenagakerjaan terkait pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) mendapatkan penolakan dari masyarakat.

Berikut bunyi lengkap Pasal 5 (1) di Permenaker No.19 tahun 2015:

"Pemberian manfaat JHT bagi peserta yang mengundurkan diri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf a dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal surat keterangan pengunduran diri dari perusahaan diterbitkan."

Sedangkan Pasal 6 (1) berbunyi:

"Dalam hal peserta terkena pemutusan hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3) huruf b manfaat JHT dapat dibayarkan secara tunai dan sekaligus setelah melewati masa tunggu 1 (satu) bulan terhitung sejak tanggal pemutusan hubungan kerja."

Kini, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah mengeluarkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Beleid tersebut mengatur tentang tata cara pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) di usia 56 tahun.

Persis seperti fenomena PP Nomor 46 tahun 2015, kini muncul petisi Petisi tolak Permenaker Nomor 2 Tahun 2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat JHT. Hingga pukul 17.42 WIB dilihat dari situs change.org petisi itu sudah ditandatangani lebih dari 295.863 ribu orang.

Petisi itu dibuat Suharti Ete yang ditujukan kepada 3 pihak, yakni Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah, Kementerian Ketenagakerjaan dan juga Presiden Jokowi.

Sama seperti yang terjadi saat ini, tahun 2015 silam itu juga muncul petisi online di change.org. Gilang Mahardika menggulirkan petisi untuk membatalkan kebijakan PP nomor 46 tahun 2015. Petisi tersebut ditujukan kepada Presiden Jokowi dan Menteri Ketenagakerjaan yang saat itu dijabat oleh Hanif Dhakiri.

Ribuan buruh pun ikut turun ke jalan, melakukan demo menolak berlakunya PP tersebut. Sama halnya dengan sekarang, kalangan buruh menolak keras manfaat Jaminan baru bisa dicairkan apabila peserta BPJS Ketenagakerjaan mencapai usia 56 tahun. Presiden KSPI Said Iqbal meyakini Presiden Jokowi bakal merubah Permenaker 2 tahun 2022 seperti kejadian tahun 2015.

"Saya yakin Presiden akan merubah. Orang sama kok, kasusnya kan sama. Waktu zaman Pak Hanif kan PHK besar besaran, Presiden minta Pak Hanif kan Menaker waktu itu," ujarnya saat dihubungi, Minggu (13/2).

Menurutnya, dikeluarkannya Permenaker menjadi dugaan bahwa dana JHT digunakan untuk kepentingan lainnya, misalnya pembangunan. Terlebih, dana JHT yang terkumpul sudah mencapai 550 triliun.

"Praduga praduga itu bisa saja, buktinya sekarang pengelolaannya sampai 550 triliun, digunakan kan pinjaman infrastruktur gak pernah ditanya ke buruh, sekarang buruh mau di PHK mau ngambil uangnya, jangan jangan gak ada lagi uang JHT, jangan jangan dan ditabung lagi buat penggunaan penggunaan yang gak jelas," ujarnya.

Said menyebut, mestinya Menaker Ida konsultasi dengan Presiden Jokowi jika membuat Permenaker. Apalagi, lembaga BPJS langsung dibawah Presiden.

"Nanti kan kalau begini Presiden lagi yang keserang, nanti dia berlindung dibawah Presiden. Kan gak fair kayak begini, diganti aja dari Menaker, aturan aturannya nyakitin buruh," ucapnya.

Buruh Berencana Gelar Aksi

Aksi Puluhan Ribu Buruh Geruduk DPR
Ilustrasi demo buruh. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Kalangan buruh bakal rencananya bakal menggelar aksi pada Rabu (16/2) agar Permenaker Nomor 2/2022 dicabut. Buruh bakal menggeruduk Kementerian Ketenagakerjaan dan BPJS.

"Kita rencanakan Rabu. Serempak seluruh Indonesia ini kan berkenaan dengan buruh seluruh Indonesia, tapi nanti kalau di Jakarta di kantor Kemenaker dan BPJS Naker. Rencana (Rabu) melihat situasi Omicron," kata Iqbal.

Sementara, salah satu pekerja bernama Unas Nizar mengeluhkan adanya Permenaker Nomor 2 tahun 2022. Menurutnya, Permen itu sangat merugikan bagi para karyawan yang punya rencana setelah resign untuk mandiri membuka usaha maupun rencana lainnya. Terlebih, para karyawan sudah terdapat di BPJS Ketenagakerjaan.

"Aturan pencairan saldo BPJS di ubah dari yang sebelum nya bisa cair setelah karyawan mengundurkan diri dari perusahaan tempat nya bekerja, sekarang harus menunggu cukup lama di umur 56tahun, karyawan yang siap mengundurkan diri atau mungkin di pecat kan bisa memanfaatkan hasil jerih payah nya selama bekerja, bisa buat tambah-tambah modal usaha, bertahan hidup disaat mencari kerja lagi," ujarnya.

Unas meyakini, hampir keseluruhan karyawan yang mempunyai BPJS Ketenagakerjaan punya rencana masing-masing untuk memanfaatkan pencairan saldo BPJS-nya nanti.

"Nah sekarang rumit nya, masa harus nunggu di umur 56 tahun dulu. Berharap sekali kepada pemerintah sekarang untuk tidak selalu menyengsarakan masyarakat, di saat pandemi gini, jangan lah di bikin masyarakat tuh pusing, stres," keluhnya.

Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja (Menaker) Ida Fauziyah mengeluarkan Permenaker Nomor 2 Tahun 2022. Beleid tersebut mengatur tentang tata cara pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) di usia 56 tahun.

Buruh protes keras aturan yang dikeluarkan oleh Politikus PKB tersebut. Aturan ini sangat merugikan pekerja. Terlebih, jika pekerja tersebut kena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di usia 30 tahun. JHT baru bisa dicairkan 26 tahun kemudian

Berikut sekilas Peraturan Menteri ini yang dimaksud:

1. Jaminan Hari Tua yang selanjutnya disingkat JHT adalah manfaat uang tunai yang dibayarkan sekaligus pada saat Peserta memasuki usia pensiun, meninggal dunia, atau mengalami cacat total tetap.

2. Peserta JHT yang selanjutnya disebut Peserta adalah setiap orang, termasuk orang asing yang bekerja paling singkat 6 (enam) bulan di Indonesia yang telah membayar iuran.

3. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan yang selanjutnya disebut BPJS Ketenagakerjaan adalah badan hukum publik yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

4. Kartu Peserta BPJS Ketenagakerjaan adalah identitas sebagai bukti kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan yang memiliki nomor identitas tunggal yang berlaku untuk semua program jaminan sosial ketenagakerjaan yang diterbitkan oleh BPJS Ketenagakerjaan sesuai dengan penahapan kepesertaan.

Pasal 2

Manfaat JHT dibayarkan kepada Peserta jika:

- mencapai usia pensiun;- mengalami cacat total tetap; atau- meninggal dunia

Pasal 3

Manfaat JHT bagi Peserta yang mencapai usia pensiun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a diberikan kepada Peserta pada saat mencapai usia 56 (lima puluh enam) tahun.

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya