Pakar Hukum Tata Negara: Usulan Penundaan Pemilu Pembangkangan Terhadap Konstitusi

Wacana penundaan Pemilu 2024 dinilai sangat tidak bermuatan maslahat. Malahan sangat banyak mudaratnya bagi bangsa dan negara.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Feb 2022, 20:23 WIB
Diterbitkan 28 Feb 2022, 12:38 WIB
fahri
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Muslim Indonesia, Dr. Fahri Bachmid, S.H.,M.H. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Pakar Hukum Tata Negara, Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid menegaskan penundaan Pemilu yang berdampak pada perpanjangan masa jabatan jabatan publik tidak sejalan dengan spirit konstitusi.

Etisnya, diskursus imajiner mengenai menunda Pemilu yang tentunya berimplikasi pada tatanan perpanjangan masa jabatan Presiden/Wakil Presiden, Menteri, DPR, DPD dan DPRD serta jabatan-jabatan Publik lainya diahiri. Sebab wacana itu adalah sangat tidak bermuatan maslahat, malahan sangat banyak mudaratnya bagi bangsa dan negara

“Usulan penundaan Pemilu merupakan Constitution Disobedience atau pembangkangan terhadap Konstitusi,” ujar Fahri Bachmid yang dikutip dari Antara, Senin (28/2/2022).

Menurut Fahri, jika dilihat dari berbagai alasan serta justifikasi yang dikemukakan pengusul penudaan Pemilu, secara teoritik maupun konstitusional tidak sesuai UUD 1945 dan tidak berangkat dari alasan yang memadai. Sebab hal itu bukanlah tindakan yang didasarkan kepada dalil yang secara konstitusional dapat diterima.

“Misalnya secara objektif negara dalam keamanan atau ketertiban hukum di seluruh wilayah atau di sebagian wilayah Negara Republik Indonesia terancam oleh pemberontakan, kerusuhan- kerusuhan atau akibat bencana alam, sehingga dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh alat-alat perlengkapan secara biasa," kata dia.

"Atau timbul perang atau bahaya perang atau dikhawatirkan perkosaan wilayah Negara Republik Indonesia dengan cara apapun juga; atau gangguan keamanan yang berdampak holistik, berdasarkan Perpu No. 23/1959 Tentang Keadaan Bahaya atau berdasarkan prinsip hukum tata negara darurat dikenal dengan “staatsnoodrechts” (keadaan darurat negara) atau “noodstaatsrechts” (hukum tata negara dalam keadaan darurat), sehingga presiden sebagai kepala negara dapat menetapkan sebuah kebijakan dan kebutuhan hukum sesuai prinsip hukum yang berlaku, berdasarkan ajaran hukum suatu keadaan darurat negara (state of emergency),” paparnya.

Jika memang alasan itu ada, Fahri mengatakan, Presiden mendasarkan diri pada prinsip proporsionalitas yang dikenal dalam hukum internasional, Prinsip ini dianggap sebagai “the crus of the self defence doctrine” atau inti dari doktrin Self Defence. Secara inheren prinsip proporsionalitas dianggap memberikan standar mengenai kewajaran.

“Sehingga kriteria untuk menentukan adanya “necessity” menjadi lebih jelas, kebutuhan yang dirumuskan sebagai alasan pembenar untuk melakukan tindakan yang bersifat darurat, proporsional, wajar atau setimpal sehingga tindakan dimaksud tidak boleh melebihi kewajaran yang menjadi dasar pembenaran bagi dilakukannya tindakan itu sendiri,” katanya.

Disampaikan Fahri, prinsip “necessity” termasuk mengambil dan menetapkan beleeid tertentu, yang salah satunya adalah opsi Dekrit dengan segala konsekwensinya, baik politik maupun hukum, untuk menunda pelaksanaan Pemilu 2024. Dengan demikian, konsep usulan penundaan Pemilu yang disampaikan interest group itu setelah ditelaah secara mendalam dan cermat, ternyata mempunyai potensi pelanggaran serta berakibat terjadinya pembangkangan secara terbuka terhadap konstitusi.

“Dan lebih jauh mempunyai daya rusak yang sangat elementer, dan destruktif terhadap perkembangan konsolidasi demokrasi konstitusional yang telah diatur dalam konstitusi,” paparnya.

Menurut Fahri, dalam sebuah negara demokrasi konstitusional, setiap diskursus yang dilontarkan setiap warga negara adalah sesuatu yang generik, tetapi harus disertai dengan suatu tanggung jawab serta standar moral tinggi untuk kepentingan kemaslahatan yang jauh lebih besar untuk bangsa dan negara. Dan idealnya harus berangkat dari spirit sebagai negarawan sejati.

“Secara filosofis, adagium hukum yang menegaskan bahwa “ubi societas ibi ius” dimana ada masyarakat disitu ada hukum, keberadaan hukum pada masyarakat merupakan instrumen penting untuk menciptakan ketertiban di masyarakat karena dalam suatu lingkungan sosial dimana hubungan relasi antar sesama manusia sering menimbulkan potensi konflik antarkepentingan masyarakat tersebut, yang keberadaannya menjadi sangat penting. Oleh sebab itu, sebagai alat untuk menjaga dan menjamin adanya ketertiban sosial, maka ketaatan terhadap hukum (konstitusi) wajib untuk dilaksanakan," terang dia.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Konstitusi Wajib Dilaksanakan

Secara doktrinal, Indonesia sebagai negara demokrasi konstitusional, tentunya menempatkan konstitusi sebagai hukum dasar yang supreme, serta wajib untuk dilaksanakan. Bukan untuk diperdebatkan yang pada ahirnya melahirkan sikap pembangkangan terhadap nilai serta norma konstitusi itu sendiri, “Constitution Disobedience”.

“Pada hakikatnya UUD NRI Tahun 1945 harus dipedomani dan dilaksanakan oleh seluruh komponen masyarakat dan penyelenggara negara, serta pada sisi yang lain konstitusi harus ditempatkan sebagai rujukan dalam pencarian solusi atas persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang timbul,” tambahnya.

Fahri berpendapat, usulan penundaan Pemilu ini tentunya tidak terwadahi serta tidak dikenal dalam rumusan norma konstitusi, sehingga tentunya tidak sejalan dengan konstitusi dan UU tentang Pemilu. Dengan begitu, usulan itu hanya dipandang sebagai konsep hukum yang dicita-citakan, dan belum diakomodasi dalam konstitusi.

“Sebagai sebuah negara hukum, kita wajib menjunjung tinggi hukum dan konstitusi UUD NRI Tahun 1945 atau “Ius constitutum”. Bahwa pelembagaan Pemilu telah didesain sedemikian rupa dalam kesisteman UUD 1945, agar prinsip kedaulatan rakyat secara esensial dapat disalurkan secara fixed term demi tercipta suatu tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang aman, damai, serta tertib demi mencapai tujuan negara yang sesungguhnya,” ujar dia.

Fahri berpendapat bahwa hal ini telah terkonfirmasi melalui rumusan-rumusan teks konstitusi berdasarkan ketentuan di antaranya Pasal 1 ayat (2) dan (3), yang diatur bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar selanjunya disebut bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.

Berangkat dari rumusan konstitusi itu, maka UUD 1945 telah mengatur secara restriksi tentang siklus pelaksanaan Pemilu di Indonesia setiap lima tahun sekali. Ini sebagai perwujudan hak asasi politik warga negara untuk memilih wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, DPD dan DPRD, serta memilih Presiden dan Wakil Presiden.

“Hal ini dimaksudkan untuk mendapat derajat legitimasi dari rakyat melalui saluran Pemilu yang legitimate sesuai perintah konstitusi. Secara teoritik sesungguhnya untuk melaksanakan pergantian serta sirkulasi personal pemerintahan secara damai, aman, dan tertib secara konstitusional “suksesi nasional” dan menjamin kesinambungan pembangunan nasional,” katanya.

Diberitakan sebulemnya, diskursus penundaan Pemilu diusulkan Wakil Ketua DPR sekaligus Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar dan diamini oleh Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto dan Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan.

Alasan mereka menyuarakan penundaan Pemilu beragam alasan. Mulai dari situasi perekonomian negara sedang sulit dan beberapa implikasi lainya, pendemi yang sedang merebak dan belum dapat diprediksi kapan akan berakhir, rakyat masih menghendaki Jokowi melanjutkan kepemimpinan, sehingga sekelompok masyarakat ada yang meminta diperpanjang tiga periode, dan yang terakhir soal invasi Rusia vs Ukraina.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya