Kejagung Periksa Eks Dirjen SDPPI Kominfo Terkait Kasus Korupsi Satelit Kemhan

Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa empat saksi terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit Kemhan tahun 2012-2021.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 28 Mar 2022, 13:21 WIB
Diterbitkan 28 Mar 2022, 13:19 WIB
Ilustrasi Kejaksaan Agung RI (Kejagung)
Gedung Kejaksaan Agung RI (Kejagung). (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) memeriksa empat saksi terkait kasus dugaan korupsi proyek pengadaan satelit pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2012-2021. Termasuk sejumlah pihak dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo).

"Pemeriksaan saksi dilakukan untuk memperkuat pembuktian dan untuk melengkapi pemberkasan dalam perkara dugaan tindak pudana korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan tahun 2012 sampai dengan 2021," tutur Kapuspenkum Kejagung Ketut Sumedana dalam keterangannya, Senin (28/3/2022).

Empat saksi yang diperiksa adalah TW selaku Dirut PT DNK tahun 2004-2015, MBS selaku Dirjen Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo tahun 2011-2016, DS selaku Direktur Penataan Sumber Daya Ditjen SDPPI Kominfo, dan M selaku Direktur Standarisasi, Perangkat Pos & Informatika Ditjen Kominfo tahun 2010-2020.

"Seluruhnya diperiksa terkait dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat bujur timur pada Kementerian Pertahanan tahun 2012 sampai dengan 2021," kata Ketut.

Kerugian Negara

Tim Kejagung menggeledah tiga lokasi terkait kasus dugaan korupsi proyek satelit di Kemhan
Tim Kejagung menggeledah tiga lokasi terkait kasus dugaan korupsi proyek satelit di Kemhan. (Foto: Kejagung)

Sebelumnya, Kejagung menyatakan negara mengalami kerugian Rp 500 miliar lebih terkait dugaan perkara proyek pembuat dan penandatangan kontrak satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan) Kemhan pada 2015-2016.

"Jadi indikasi kerugian negara yang kita temukan hasil dari diskusi dengan rekan-rekan auditor, ini kita perkirakan uang yang sudah keluar sekitar Rp500 miliar lebih dan ada potensi. Karena kita sedang digugat di arbitrase sebesar 20 juta USD," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejaksaan Agung Febrie Ardiansyah saat konpers, Jumat 14 Januari 2022.

Ia menjelaskan, jumlah Rp 500 miliar dari proyek satelit Kemhan tersebut diperuntukkan untuk membayar biaya sewa Avanti sebesar Rp 491 miliar, kemudian untuk biaya konsultan sebesar Rp18,5 miliar. Selanjutnya untuk biaya Arbitrase Navajo senilai Rp 4,7 miliar.

"Nah ini yang masih kita sebut potensi ya, karena ini masih berlangsung dan kita melihat bahwa timbulnya kerugian atau pun potensi sebagaimana tadi yang disampaikan di persidangan Arbitrase ini," jelasnya.

"Karena memang ada kejahatan yang kualifikasinya ketika ekspose dilakukan, ini masuk ke dalam kualifikasi tindak pidana korupsi," sambungnya.

Mahfud Minta Pembuat Kontrak Tanggung Jawab

Menko Polhukam Mahfud Md
Menko Polhukam Mahfud Md. (Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra)

Menko Polhukam Mahfud Md meminta agar pembuat dan penandatangan kontrak proyek satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan) Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015-2016 bertanggung jawab. Hal itu karena belum ada kewenangan negara di dalam APBN dalam pengadaan satelit.

"Yang bertanggung jawab yang membuat kontrak itu karena belum ada kewenangan dari negara di dalam APBN bahwa harus melakukan pengadaan satelit dengan cara-cara itu," katanya dalam konferensi pers, Kamis (13/1/2022).

Mahfud juga mengakui telah memberitahu Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait adanya dugaan pelanggaran hukum tersebut. Jokowi pun meminta kepada Mahfud untuk menuntaskan kasus tersebut.

"Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini," kata Mahfud.

Tidak hanya itu, dia juga sudah sempat membahas terkait hal itu bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Kemudian Mahfud pun berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab terkait hal itu.

"Karena kalau ada sesuatu pelanggaran hukum dari sebuah kontrak kalau kita harus membayar itu kita harus lawan," ungkapnya.

Mahfud meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menindaklanjuti masalah tersebut secara serius. Sebab, bukan tidak mungkin empat perusahaan lain, Airbus, Detente, Hogan Lovels, dan Telesat juga mengajukan gugatan yang sama.

"Karena itu pemerintah akan meminta Kejaksaan Agung menerus apa yang telah dilakukan. Kami mohon Kejaksaan Agung mempercepat. Daripada tagihan-tagihan kita tidak punya alat. Maka kita segera konfirmasi maka yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung Sudah benar di dalam seluruh proses pemeriksaan," bebernya.

Sebab kata dia tidak menutup kemungkinan negara berpotensi ditagih lagi oleh Airbus, Detente, Hogan Lovels, dan Telesat. Mahfud pun berharap agar segera diselesaikan sehingga negara tidak perlu membayar kontrak yang belum jelas asalnya.

"Sehingga banyak sekali ini beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," pungkasnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya