Liputan6.com, Jakarta Isu menduetkan Prabowo Subianto-Joko Widodo alias Jokowi untuk Pilpres 2024 belakangan mencuat ke permukaan publik beberapa hari belakangan. Jokowi yang tidak bisa lagi menjadi capres, diusulkan untuk menjadi pendamping Prabowo Subianto.
Eks politikus Partai Demokrat I Gede Pasek Suardika menyebut, jika hal itu terjadi maka pasangan yang imbang sebagai lawan adalah pasangan Anies Baswedan dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Baca Juga
"Kita kan lagi dengar nih isu Prabowo-Jokowi, nah ini momentum bagus juga Pak SBY bisa jadi wakil presidennya siapa," ucap Pasek dalam diskusi perang klaim infrastruktur dan tudingan pemilu curang 2024 di kawasan Jakarta, Sabtu (24/9/2022).
Advertisement
Pasek mengibaratkan duet Prabowo-Jokowi melawan Anies-SBY seperti laga sepak bola antara klub rival Barcelona dan Real Madrid. Atau akrab disebut El Classico.
"Nah, kalau Pak Prabowo-Jokowi maju, siapa yang bisa jadi lawan seru? Maka yang memungkinkan ya Anies-SBY, ini baru akan ada pertarungan yang... El Clasico lah," ujarnya.
Ketum Partai Kebangkitan Nusantara itu berpendapat, pasangan Anies-SBY merupakan antitesis dari duet Prabowo-Jokowi. "Antitesa dari pada Pak Prabowo-Jokowi, maka Anies-SBY, antitesanya, kalau itu terjadi," ucapnya.
Menurut Pasek, duet Anies-AHY masih berat untuk mengalahkan duet Prabowo-Jokowi. Sebab, AHY belum cukup pengalaman secara organisasi.
"Kalau Anies-AHY berat ini, yang belum dimiliki AHY adalah meniru karier secara organisasi. Semestinya jika kemarin dia punya lobi politik yang bagus, maka dia jadi menteri, atau dia nyaleg sebagai anggota dewan, nah itu ada pematangan secara politik," tukasnya.
Wacana Jokowi Cawapres Prabowo Dinilai Rendahkan Wibawa Presiden
Partai Gerindra memantik wacana duet Prabowo-Jokowi di Pemilu 2024. Namun, posisi Jokowi didisposisi menjadi wakil presidennya.
Menanggapi hal itu, Analis Politik Pangi Syarwi Chaniago, menyatakan, perlu ditanyakan lebih dulu betulkah Jokowi mau menjadi cawapresnya dari Prabowo.
“Mohon maaf, nampaknya tawaran tersebut justru merendahkan wibawa dan martabat Jokowi yang pernah menjadi presiden dua periode,” kata CEO & Founder Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, lewat keterangan pers diterima, Kamis 15 September 2022.
Meski pertanyaan itu hanya dapat dijawab oleh Jokowi, namun Pangi termasuk tidak yakin Jokowi mau untuk digandeng menjadi wakil presiden Prabowo.
“Masih jauh lebih tertarik Jokowi mungkin dengan ide tiga periode, faktanya presiden Jokowi cenderung selama ini membiarkan wacana tersebut terus dipancarkan “inner circle” pendukung beliau, ditambah lagi presiden Jokowi mengatakan itu sah-sah saja karena bagian dari suara demokrasi,” jelas Pangi.
Pangi menambahkan, wacana duet Prabowo-Jokowi belum ada jaminan bahwa duet ini diprediksi bakal mulus melenggang ke kursi Istana.
“Citra, elektabilitas Jokowi ada kemungkinan redup. Itu artinya tingkat kepuasan terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden terjadi fluktuasi dan dinamis, ada kemungkinan figur Jokowi tidak lagi se-populer ketika maju pada pemilu 2014 dan pemilu 2019,” jelas Pangi
Pangi mewanti, bahwa perilaku pemilih Indonesia kemungkinan akan mengalami kejenuhan jika kembali disuguhkan kedua sosok tersebut. Sebab, pemilih sudah rindu terhadap figur-figur yang lebih seger populis, dan membawa harapan baru di dalam visi capresnya.
“Saya termasuk yang tidak yakin bahwa pemimpin itu selamanya dicintai rakyat, kan ada fase anti klimaks dengan ketokohan seseorang. Setiap tokoh dan figur personalisasi seseorang tentu ada momentumnya, atau ada masa tanggal kadaluarsa, kepemimpinan juga begitu,” jelas Pangi.
“Saya termasuk mazhab yang tidak yakin momentum yang sama bisa terulang kembali terhadap Prabowo dan Pak Jokowi. Sebab saya menilai masyarakat cenderung lebih tertarik dengan figur seger seperti Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan,” tambah Pangi menutup.
Advertisement
Duet Prabowo-Jokowi Rusak Demokrasi
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai presiden yang sudah menjabat dua periode tidak bisa maju lagi sekalipun dicalonkan sebagai cawapres. Karena jika nanti terpilih maka wapres adalah orang yang akan menggantikan presiden jika berhalangan tetap.
"Artinya nanti dia akan menjabat lagi menjadi presiden dalam kondisi ini. Jadi sebaiknya polemik ini dihentikan saja," kata dia kepada Liputan6.com, Kamis 15 September 2022.
Menurut Khoirunnisa, dengan kondisi ini artinya publik hanya akan disuguhkan dengan calon yang tetap dan itu saja hanya berganti posisi.
"Karena masa jabatan sudah usai. Jadi lebih baik tidak usah mewacanakan lagi soal peluang untuk maju kembali baik itu menjadi capres atau cawapres," jelas dia.
Khoirunnisa menegaskan, pihaknya mendorong sirkulasi kepemimpinan, mendorong parpol untuk menyiapkan pemimpin.
"Termasuk merawat demokrasi ini. Jika ada kepuasan terhadap kinerja pemerintahan Presiden Jokowi bukan berarti ini menjadi argumentasi untuk dicalonkan kembali," jelas dia.
Senada, Peneliti Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN) Aisah Putri Budiatri menegaskan, meski tidak melanggar aturan hukum, tetapi nampaknya tak tepat dari sisi etika politik.
"Ada amanat konstitusi tentang pembatasan kekuasaan presiden-wapres hanya dua periode dengan tujuan untuk membatasi kekuasaan politik dan mencegah tirani, dan dalam konteks Jokowi sudah menjadi presiden, tampuk kekuasaan politik tertinggi, selama dua periode, maka sebaiknya dilakukan pergantian kepemimpinan presiden dan Jokowi pun tak sepatutnya turun posisi menjadi wapres," kata dia.
Putri menyebut, Jokowi dan Prabowo merupakan lawan politik dalam dua kali pilpres yang dalam konteks berdemokrasi, maka memposisikan mereka sebagai dua calon presiden dengan perspektif tawaran kebijakan berbeda.
"Namun yang terjadi setelahnya justru Prabowo masuk ke dalam pemerintahan Jokowi dan tentu saja, akan menjadi semakin tak elok ketika kemudian berpasangan terbalik dengan Jokowi sebagai wakil dari Prabowo dalam pemilu ke depan," ungkap dia.
Putri menegaskan, sudah sepatutnya, rakyat diajarkan tentang berpolitik dan berdemokrasi yang benar ketika pasangan capres-cawapres terbentuk karena memiliki ideologi dan visi misi politik yang sama, bukan sekedar berpasangan untuk kepentingan memenangkan pemilu dan melanggengkan kekuasaan.
"Selain itu, partai politik punya kewajiban untuk melakukan rekrutmen politik untuk jabatan-jabatan politik penting termasuk presiden dan wakil presiden, sehingga seharusnya partai menyiapkan kader terbaiknya menjadi cawapres dan capres, dan harus ada regenerasi pencalonan artinya tidak kemudian cawapres berasal dari presiden yang sudah dua kali periode," tegas dia.
Reporter: Muhammad Genantan Saputra
Sumber: Merdeka.com