Liputan6.com, Jakarta Partai Amanat Nasional (PAN) setuju dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menetapkan mantan terpidana korupsi tidak bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislatif hingga lima tahun setelah keluar dari penjara.
"Tujuannya agar ada proses evaluasi diri, adaptasi dengan lingkungan, dan dapat meyakinkan kembali masyarakat terhadap integritas diri dan kepercayaan masyarakat," kata Wakil Ketua Umum DPP PAN, Viva Yoga Mauladi, saat dihubungi Merdeka soal eks koruptor nyaleg, Jakarta, Kamis (1/12/2022).
Baca Juga
Menurut dia, akan baik jika putusan tersebut diberlakukan untuk semua calon legislatif baik anggota DPR RI, anggota DPRD provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota dan anggota DPD RI.
Advertisement
"Pertimbangannya bahwa DPD RI juga termasuk ke dalam rumpun jabatan berdasarkan pilihan (elected officials). Semua jabatan yang berdasarkan pilihan (bukan penunjukan) harus mengikuti asas keadilan dan berlaku sama untuk semuanya. Dan anggota DPD RI itu dipilih berdasarkan suara terbanyak, di masing-masing provinsi diwakili 4 anggota DPD RI," ujar Viva Yoga.
Sebab, dalam keputusan MK tidak memasukkan calon anggota DPD RI. Maka perlu di Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) diatur untuk dapat memasukkan hal tersebut.
"PAN berharap bahwa calon legislatif dan calon di Pilkada dengan adanya keputusan MK ini akan dapat menjadi jalan baru untuk meningkatkan pemilu agar berintegritas dan berkualitas, diisi oleh calon yang teruji kredibilitasnya, rekam jejaknya, dan kompetensinya," imbuh Viva Yoga.
Putusan MK
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) melarang mantan narapidana kasus korupsi mencalonkan diri sebagai calon anggota legislatif (caleg) hingga lima tahun setelah keluar dari penjara. Larangan eks koruptor nyaleg ini tertuang dalam putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022.
Dalam hal ini MK mengabulkan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan Leonardo Siahaan, warga Tambun Utara, Bekasi.
"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," demikian bunyi putusan MK yang dibacakan pada Rabu (30/11/2022) di Jakarta.
Adapun putusan ini dimusyawaratkan oleh sembilan Hakim Konstitusi, yaitu Anwar Usman selaku Ketua merangkap Anggota, Aswanto, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Arief Hidayat, Daniel Yusmic P Foekh, Manahan MP Sitompul, dan Saldi Isra, masing-masing sebagai anggota.
Dalam putusannya, MK menyebut Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu perlu diselaraskan dengan memberlakukan masa menunggu jangka waktu lima tahun bagi narapidana kasus korupsi sebelum mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
"Ketentuan norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu perlu diselaraskan dengan memberlakukan pula masa menunggu jangka waktu 5 (lima) tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara yang berdasar pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan adanya kejujuran atau keterbukaan mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana sebagai syarat calon anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota," bunyi putusan MK.
Advertisement
Jadi Momen untuk Introspeksi
Menurut MK, jangka waktu tersebut dirasa cukup bagi para mantan terpidana kasus korupsi untuk instrospeksi diri dan beradaptasi dengan masyarakat lingkungannya.
MK menjelaskan, terkait frasa bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota yang pernah menjalani pidana dengan ancaman pidana penjara lima tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik yang bersangkutan merupakan mantan terpidana sebagaimana diatur dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu tidak sejalan dengan semangat yang ada dalam persyaratan menjadi calon kepala daerah dalam norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.
"Oleh karena itu, pembedaan syarat untuk menjadi calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dengan calon kepala daerah yaitu calon gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, wali kota/wakil wali kota bagi mantan terpidana tersebut dapat berakibat terlanggarnya hak konstitusional warga negara," kata MK.
Senada dengan hal ini, perbedaan secara faktual dalam norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu sepanjang frasa 'kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana' sejatinya tidak lagi selaras dengan pemaknaan yang telah dilakukan oleh Mahkamah dalam putusannya atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada.
Harus Jujur
“Oleh karena dalil Pemohon yang menyatakan adanya persoalan konstitusionalitas terhadap norma Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu dapat dibuktikan, namun oleh karena pemaknaan yang dimohonkan oleh Pemohon tidak sebagaimana pemaknaan yang dilakukan oleh Mahkamah, maka permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian,” bunyi putusan.
Persyaratan atas adanya keharusan untuk menjelaskan secara terbuka kepada publik tentang jati dirinya dan tidak menutupi latar belakang kehidupannya tersebut, menurut MK hal itu diperlukan hanya dalam rangka memberikan bahan pertimbangan bagi calon pemilih dalam menilai atau menentukan pilihannya.
“Hal ini terpulang pula kepada rakyat sebagai pemilih untuk memberikan suaranya kepada calon yang merupakan seorang mantan terpidana atau tidak untuk memberikan suaranya kepada calon tersebut. Sementara itu untuk pengisian jabatan melalui pemilihan, pada akhirnya masyarakat yang memiliki kedaulatan tertinggi yang akan menentukan pilihannya,” demikian bunyi putusan MK.
Reporter: Alma Fikhasari
Sumber: Merdeka
Advertisement