Liputan6.com, Bogor - Polresta Bogor Kota mengungkap kasus dugaan korupsi proyek perluasan gedung pelayanan pasien tahap II Rumah Sakit (RS) Marzuki Mahdi Kota Bogor anggaran 2017. Kasus korupsi ini telah mengakibatkan kerugian keuangan negara Rp 1,6 miliar.
Dalam kasus korupsi ini, penyidik menetapkan tiga tersangka yakni ASR sebagai Dirut Delbiper Cahaya Cemerlang (DCC) atau selaku penandatanganan kontrak. Pada saat bersamaan, ASR juga tersandung kasus serupa di Jakarta.
Baca Juga
Kemudian, SKN sebagai peminjam bendera PT DCC, yang juga berperan sebagai penyedia dokumen penawaran SKA palsu. Selanjutnya MHB yang merupakan ketua pokja pemilihan tender proyek.
Advertisement
"Namun SKN meninggal dunia saat kasus ini dalam proses penyelidikan," ujar Kapolresta Bogor Kota Kombes Bismo Teguh Prakoso kepada wartawan, Selasa (21/2/2023).
Bismo mengatakan, kasus korupsi itu bermula dari proses tender proyek perluasan gedung kantor pusat pelayanan administrasi pasien Tahap II RS Marzoeki Mahdi Bogor Tahun Anggaran 2017 dilakukan dengan menggunakan metode lelang cepat. Saat itu, PT DCC ditetapkan sebagai pemenang.
"Kemudian ditandatangani surat kontrak pengadaan jasa konstruksi tertanggal 16 Juni 2017 dengan nilai kontrak Rp.6,736,728,964. Pengerjaan fisik sendiri memakan waktu 150 hari kalender terhitung sejak 16 Juni 2017 hingga 12 November 2017," jelasnya.
Namun, kata Bismo, dalam proses tender terjadi penyimpangan dan bertabrakan dengan Perpres No 54 Tahun 2010 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang terakhir diubah dengan Perpres No. 4 Tahun 2015 Tentang Perubahan Keempat Atas Perpres No. 54 Tahun 2010.
Sebab, MHB telah mempengaruhi anggota pokja untuk menetapkan PT DCC sebagai pemenang tender.
"Padahal, anggota pokja yang lain telah memilih perusahaan lain sebagai pemenang tender karena dinilai dokumen tendernya lengkap. MHB sebelumnya telah mendapat pesanan dari CSW selaku PPK untuk memenangkan PT DCC," terang Bismo.
Jual Proyek ke Pihak Lain
Setelah ditetapkan sebagai pemenang, Dirut PT DCC justru menjual proyek itu dengan perjanjian mendapat fee 2 persen dari nilai kontrak dikurangi pajak.
"Kurang lebih fee mencapai Rp120 juta, yang akan dibayar setelah uang muka turun. ASR sendiri baru menerima Rp75 juta dari SKN. Jadi ASR ini mengalihkan semua pekerjaan ke pihak lain," katanya.
"Dalam perpres dilarang mengalihkan pelaksanaan pekerjaan utama berdasarkan kontrak, dengan melakukan subkontrak kepada pihak lain. Kecuali sebagian pekerjaan utama kepada penyedia barang jasa spesialis," tambah Bismo.
Sedangkan tersangka SKN juga berperan dalam menyiapkan dokumen kelengkapan tender dengan menggunakan SKA palsu untuk memenuhi kualifikasi. Bahkan, ia pun menerima uang sebesar Rp150 juta untuk biaya pinjam perusahaan dan pembuatan dokumen tender.
Advertisement
Penetapan 3 Tersangka
Menurut Bismo, penetapan ketiga tersangka dilakukan setelah tim penyidik memiliki alat bukti yang kuat, termasuk keterangan saksi dan saksi ahli.
"Kami juga melakukan audit konstruksi dengan menggandeng Poltek Bandung. Hasilnya, didapati bahwa volume pekerjaan fisik minus 13 persen," terangnya.
Kedua tersangka, kata dia, dijerat dengan UU Tipikor Nomor 20 Tahun 2021 Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, Subsidair Pasal 3 Jo. Pasal 18 UU Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.
"Ancaman hukuman penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar," tandasnya.