Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima gugatan judicial review (JC) terhadap Undang-undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Permohonan diajukan oleh dua orang bernama Eliadi Hulu warga Nias, Sumatera Utara, dan Saiful Salim warga asal Mantrijeron, Yogyakarta.
Gugatan itu diterima pada Rabu, 21 Juni 2023, yang dikuasakan kepada Leonardo Siahaan. Dalam gugatannya itu mereka turut mempermasalahkan jabatan ketua umum partai politik (parpol) yang selama ini tidak diatur dalam UU parpol.
Baca Juga
"Demikian pula halnya dengan partai politik yang dibentuk atas dasar undang-undang a quo dan juga merupakan peserta pemilu, sudah sepatutnya bagi siapa pun pemimpin (ketua umum) partai politik untuk dibatasi masa jabatannya," sebagaimana alasan yang tertuang dalam permohonan, diunduh lewat situs resmi MK, Senin (26/6/2023).
Advertisement
Kedua pemohon mengambil contoh bahwa mereka merasa dirugikan dan kehilangan haknya dalam menyampaikan pendapat akibat adanya kekuasaan yang begitu besar di tangan ketua umum yang cenderung bersifat otoritarianisme.
"Hal ini secara nyata terbukti dengan penentuan capres dan cawapres dari PDIP yang hanya ditentukan oleh ketua umumnya. Bahkan Joko Widodo selaku kader partai sekaligus menjabat sebagai presiden Indonesia telah mengusulkan beberapa nama untuk menjadi cawapres, namun keputusan tetap berada dalam tangan ketua umum," katanya.
Adapun akar masalah itu, kata para pemohon dalam beleid gugatannya, karena Undang-undang Partai Politik tidak mewajibkan agar anggaran dasar dan anggaran rumah tangga (AD/ART) mengatur mengenai batasan masa jabatan pimpinan partai politik. Hal itu dipandang berimplikasi pada kekuasaan yang terpusat pada orang tertentu dan terciptanya dinasti dalam tubuh partai politik.
"Bahwa design Undang-undang Partai Politik cenderung menempatkan partai politik sebagai organisasi superior tanpa adanya pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak internal dari partai itu sendiri," katanya.
"Jikalau pun terdapat pengawasan internal, hanya diatur melalui AD dan ART partai yang bersangkutan dengan memunculkan organ internal yang penamaannya berbeda-beda setiap partai politik. Namun demikian, organ internal tersebut pun tunduk kepada pimpinan partai politik, dalam hal ini ketua umum," kata pemohon judicial review.
Terlebih secara secara mayoritas sistem pemerintahan internal organisasi partai politik di Indonesia menganut sistem demokrasi terpimpin (sistem satu komando). Sehingga seluruh kebijakan dan keputusan partai politik berada di tangan pemimpin tertinggi.
"Bahwa tidak adanya pembatasan masa jabatan pimpinan partai politik telah menyebabkan satu figur atau kelompok bahkan keluarga tertentu memegang kekuasaan di tubuh partai politik dengan begitu panjang," ujarnya.
Tidak Sesuai Konstitusionalisme
Hal ini tentu dinilainya tidak sesuai dengan prinsip konstitusionalisme yang seharusnya menghendaki adanya pembatasan kekuasaan dan menghindari excessive atau abuse of power. Sesuai prinsip limitasi kekuasaan lewat pemaknaan baru terhadap Pasal 23 ayat (1) UU Partai Politik.
"Dengan menambahkan ketentuan baku mengenai periodesasi dan masa jabatan ketua umum partai politik. Apabila masa jabatan pimpinan partai politik tidak dibatasi maka akan membuka ruang abuse of power yang berseberangan dengan prinsip konstitusionalisme, negara hukum, dan demokrasi konstitusional di tubuh partai politik," katanya.
Dalam permohonannya, mereka menggugat agar Pasal 23 ayat 1 yang berbunyi:
"Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART."
Agar diubah menjadi:
"Pergantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART, khusus ketua umum atau sebutan lainnya, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan selama 5 tahun dan hanya dapat dipilih kembali 1 kali dalam jabatan yang sama, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut."
Â
Reporter: Bachtiarudin Alam
Sumber: Merdeka.com
Advertisement