Liputan6.com, Jakarta - Meydawati atau akrab disapa Mey, sosok pengamen jalanan yang juga merupakan murid dan jemaah setia Gus Iqdam, telah pergi untuk selamanya. Kepergiannya menyisakan duka mendalam, terutama bagi para garangan, sebutan akrab bagi jamaah Sabilu Taubah (ST) yang mengenalnya sebagai pribadi hangat dan penuh semangat bertobat.
Mey bukan hanya sekadar pengamen biasa. Di balik suaranya di perempatan jalan di daerah Blitar, tersimpan amalan doa yang tak pernah ia tinggalkan setiap harinya. Doa tersebut bukan sembarang doa, melainkan lantunan yang menggetarkan hati bahkan hingga membuat Gus Iqdam meneteskan air mata.
Kisah haru ini pernah diceritakan langsung oleh Gus Iqdam di tengah majelis pengajiannya, hingga viral di media sosial. Ia menceritakan pertemuan tak terduga dengan Mey, yang saat itu tengah mengamen dalam kondisi mabuk karena minuman keras dan obat-obatan, di Perempatan Kunden, Kediri.
Advertisement
Waktu itu, Pengasuh Majelis Ta'lim Sabilu Taubah, Blitar ini, baru saja pulang dari pengajian di Surabaya dan melintasi perempatan tersebut. Dari dalam mobil, ia melihat seorang pengamen dengan suara lantang dan gaya yang tak biasa—dialah Mey. Gus Iqdam pun meminta Mey untuk melantunkan sholawat, namun jawaban yang ia terima justru mengejutkan.
"Aku ora iso sholawatan Gus, aku nyanyi doa wae," kata Mey saat itu. Lalu ia menyanyikan doa yang sederhana namun penuh makna.
"Allohummaghfirlanaa dzunuubanaa waliwaalidinaa warhamhumaa kamaa robbayaanaa soghiro."
Tak disangka, doa yang dilantunkan oleh seseorang dalam keadaan mabuk tersebut justru menampar hati Gus Iqdam. Setelah mobilnya melaju dan melewati rel tak jauh dari perempatan, Gus Iqdam menangis terisak.
"Wong mendem wae isih eling wong tuwo. Lha awake dhewe iki sing waras, sholawatan saben dina, malah kadhang lali mendoakan wong tuwo," ujar Gus Iqdam di hadapan jemaahnya.
Baca Juga
Simak Video Pilihan Ini:
Perubahan Besar Bimbingan Gus Iqdam
Sejak saat itu, Gus Iqdam kerap mendatangi Mey dan teman-temannya. Ia tak hanya memberikan ceramah, tapi juga mengajak mereka ngopi, ngobrol, dan membangun hubungan yang hangat dan penuh kasih.
Kebersamaan itu akhirnya melahirkan perubahan besar dalam hidup Mey. Ia mulai rutin mengikuti pengajian di Majelis Ta'lim Sabilu Taubah, meski awalnya masih mengenakan “pakaian dinas” ngamen: kaos, celana pendek, jaket lusuh, dan rambut terurai bebas.
Namun lambat laun, penampilan Mey berubah. Ia mulai mengenakan pakaian tertutup, berhijab, dan menjauhi kebiasaan buruknya. Bahkan, dalam salah satu video pengajian, Mey dengan bangga berkata, “Antimo saja tak tinggal Gus. Sekarang aku steril.”
Dulu, antimo enam butir sehari menjadi “santapan wajib” Mey. Bahkan ia mengaku bisa tumbang jika sampai mengonsumsi sepuluh butir sekaligus. Namun setelah mengikuti pengajian secara rutin, kebiasaan buruk itu ia tinggalkan dengan kesadaran penuh.
Meski hidupnya masih sederhana, Mey tetap mengamen. Namun kini ia tampil berbeda. Banyak yang mengenalnya, banyak pula yang memberi rezeki lebih. Videonya pun sempat viral, meski ia tak memiliki akun TikTok.
Advertisement
Jalan Kembalinya Anak Jalanan
Kisah tobat Mey mengingatkan kita bahwa jalan kembali kepada Allah bisa datang dari arah yang tak terduga. Seperti halnya Sunan Kalijaga, yang juga melewati fase kelam sebelum menjadi wali besar, Mey pun memerlukan pembimbing untuk menuntunnya ke jalan terang.
Peran Gus Iqdam sebagai pembimbing spiritual Mey sangat krusial. Ia hadir tak hanya sebagai penceramah, tapi juga sebagai sahabat, pendengar, dan penyemangat. Pendekatannya yang lembut menyentuh hati Mey dan menguatkan niat tobatnya.
Dalam setiap pengajian, Gus Iqdam sering memberi kesempatan kepada para jemaah untuk berbicara. Mey pun kerap mendapat giliran berbagi cerita, termasuk masa lalunya yang kelam namun penuh hikmah.
"Ini Mey, teman cakruk saya, teman ngopi saya. Dulu kalau ketemu saya di perempatan, mesti dalam kondisi ngoplo gak jelas blas. Manggil saya ‘hello handsome boy’ pakai bahasa Inggris,” tutur Gus Iqdam sambil tersenyum.
Mey bukan hanya bintang pengamen yang berubah, tetapi juga simbol harapan. Ia menjadi bukti nyata bahwa tak ada kata terlambat untuk kembali kepada Tuhan. Amalan doa yang dulu ia lantunkan saat mabuk, kini menjadi kekuatan utama dalam hijrahnya.
Kini, walau raganya telah tiada, doa yang pernah ia lantunkan tetap hidup. Doa untuk orang tua yang ia nyanyikan dengan suara serak dan hati yang tulus kini menjadi warisan spiritual yang dikenang banyak orang.
Kepergian Mey bukanlah akhir, melainkan awal dari kisah inspiratif yang menggerakkan hati. Di antara hiruk pikuk perempatan dan lantunan doa yang lirih, kisah Mey akan terus menjadi pelita bagi siapa pun yang ingin kembali ke jalan Allah.
Penulis: Nugroho Purbo/Madrasah Diniyah Miftahul Huda 1 Cingebul
