Produsen Makanan dan Minuman Angkat Bicara Soal Peraturan Pemerintah Tentang Kesehatan

Gabungan Produsen Makanan dan Minuman menanggapi penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

oleh stella maris diperbarui 21 Agu 2024, 22:00 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2024, 21:57 WIB
Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman dalam Konferensi Pers Food Ingredients Asia (Fi Asia) 2024, di Jakarta, Senin (22/7/2024). (Arief/Liputan6.com)
Ketua Umum GAPMMI, Adhi S. Lukman dalam Konferensi Pers Food Ingredients Asia (Fi Asia) 2024, di Jakarta, Senin (22/7/2024). (Arief/Liputan6.com).

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 terkait Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Tujuan peraturan itu untuk mengurangi angka Penyakit Tidak Menular (PTM) di masyarakat. Terkait peraturan tersebut, GAPMMI selaku Gabungan Produsen Makanan dan Minuman mendukung tujuan baik pemerintah untuk menciptakan masyarakat Indonesia lebih sehat dengan mengurangi PTM. 

Akan tetapi, GAPMMI memandang bahwa peraturan pemerintah tersebut seolah membebankan seluruh permasalahan PTM kepada produsen pangan olahan semata. Padahal, menurut produsen makanan dan minuman itu, faktor risiko PTM disebabkan oleh banyak faktor yang meliputi gaya hidup, kurangnya aktivitas fisik, kurangnya asupan cairan ke dalam tubuh, pengelolaan stres serta pola konsumsi makanan dan minuman sehari-hari yang tidak seimbang. Kondisi gangguan kesehatan tidak berasal dari kekurangan atau kelebihan mengonsumsi jenis pangan tertentu sehingga bukan hanya berasal dari konsumsi pangan olahan saja.

Kajian IPB tahun 2019 juga menemukan bahwa produk pangan olahan hanya menyumbang sebagian kecil dari konsumsi gula, garam, dan lemak masyarakat. Konsumsi masyarakat terhadap gula, garam dan lemak didominasi oleh Pangan Non-Olahan seperti kuliner dan makanan sehari-hari yang dimasak di rumah tangga sebesar 70%, sementara Pangan Olahan hanya sebesar 30%.

"Menentukan batas maksimal gula, garam, lemak dalam produk pangan olahan saja, tentu tidak akan efektif menurunkan angka penyakit tidak menular, dikarenakan konsumsi gula, garam, lemak masyarakat, hanya sebagian kecil yang dikontribusikan oleh produk pangan olahan," kata Adhi Lukman selaku Ketua Umum GAPMMI.

Adhi juga menjelaskan bahwa penentuan satu batas maksimum gula, garam, dan lemak untuk berbagai kategori produk makanan dan minuman, akan sangat sulit diterapkan mengingat setiap produk memiliki karakteristik tertentu yang sangat bervariasi. 

Gula, garam dan lemak memiliki fungsi teknologi dan formulasi pangan dimana produsen pangan olahan menggunakan gula, garam, dan lemak dalam produknya untuk berbagai tujuan dan alasan, termasuk rasa, tekstur, dan pengawetan. 

Menurutnya pemerintah perlu mengedepankan kajian risiko dan melibatkan stakeholder terkait, utamanya industri makanan minuman pangan olahan selaku pelaku utama serta pembina industri agar tujuan nasional untuk masyarakat sehat dan juga industri nasional yang berdaya saing dapat berjalan beriringan.

"Mengutamakan edukasi kepada konsumen mengenai pentingnya konsumsi makanan dan minuman yang seimbang sesuai dengan kebutuhan setiap individu, istirahat dan aktivitas fisik yang cukup. Dengan demikian konsumen dapat memilih produk pangan yang dikonsumsi berdasarkan kandungan gula, garam, dan lemak sesuai dengan kebutuhannya," kata Adhi. 

Selain itu, Adhi juga menanggapi terkait PP Kesehatan yang akan memungut cukai dan pelarangan iklan, promosi, serta sponsor kegiatan pada waktu, lokasi, dan kelompok sasaran tertentu, untuk produk- produk pangan olahan yang melebihi batas gula, garam, lemak tersebut. Adhi mengatakan bahwa pemungutan cukai dan pelarangan iklan dan promosi ini akan mengurangi ruang gerak pelaku usaha pangan olahan dalam menjalankan usaha dan menjangkau konsumen sebagai target market dari produk-produknya. 

 

(*)

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya