Liputan6.com, Jakarta - Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (Sekjen PDIP), Hasto Kristiyanto kembali mengajukan gugatan praperadilan melawan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait statusnya sebagai tersangka kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan dalam perkara Harun Masiku.
Hasto melayangkan praperdailan hingga dua kali, setelah pada gugatannya yang pertama kandas. Hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Djuyamto menolak permohonan praperadilan pada Kamis, 13 Februari 2025 lalu. Dengan begitu, pengadilan menyatakan bahwa penetapan tersangka Hasto oleh KPK sah demi hukum.
Baca Juga
Tak mau menyerah, kubu Hasto kembali melayangkan gugatan praperadilan untuk menguji keabsahan penetapan tersangka oleh KPK. PN Jaksel bahkan menerima dua permohonan praperadilan sekaligus dari Hasto pada 17 Februari 2025 lalu. Pertama terkait penetapan tersangka dugaan suap, dan kedua terkait penetapan tersangka dugaan merintangi penyidikan atau obstruction of justice.
Advertisement
Permohonan praperadilan ini menjadi sorotan karena menyangkut figur publik penting. Proses hukum yang ditempuh Hasto Kristiyanto ini menunjukkan pentingnya memahami mekanisme praperadilan dalam sistem hukum Indonesia. Pemahaman yang baik tentang dasar hukumnya akan membantu publik untuk mengikuti perkembangan kasus ini dan kasus-kasus serupa lainnya dengan lebih baik.
Dikutip dari berbagai sumber, praperadilan merupakan mekanisme hukum yang memungkinkan seseorang untuk mengajukan keberatan terhadap proses penegakan hukum yang dianggap tidak sah atau melanggar hukum. Mekanisme ini memberikan perlindungan hukum bagi warga negara agar tidak menjadi korban dari proses penegakan hukum yang tidak adil.
Oleh karena itu, memahami dasar hukum praperadilan sangatlah penting bagi penegakan hukum yang berkeadilan.
Dasar Hukum Praperadilan: KUHAP dan Putusan MK
Dasar hukum utama praperadilan tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya Pasal 77 sampai dengan Pasal 83, sebagaimana dikutip dari laman pn-blora.go.id.
Pasal-pasal tersebut secara jelas mengatur wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus perkara praperadilan, termasuk mengenai sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
KUHAP juga mengatur mengenai hak atas ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Ini menunjukkan komitmen negara untuk memberikan perlindungan dan pemulihan bagi warga negara yang hak-haknya terlanggar dalam proses penegakan hukum.
Namun, pemahaman mengenai dasar hukum praperadilan tidak hanya terbatas pada KUHAP. Putusan-putusan Mahkamah Konstitusi (MK) juga turut berperan penting dalam memperluas ruang lingkup praperadilan.
Dikutip dari laman kepaniteraan.mahkamahagung.go.id, dijelaskan bahwa MK telah mengeluarkan beberapa putusan yang menambahkan objek praperadilan, seperti penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan, yang sebelumnya mungkin tidak secara eksplisit diatur dalam KUHAP.
Oleh karena itu, untuk memahami secara komprehensif dasar hukum praperadilan, kita perlu merujuk pada putusan-putusan MK yang relevan. Putusan-putusan tersebut memberikan interpretasi dan memperluas penerapan ketentuan dalam KUHAP, sehingga cakupan praperadilan menjadi lebih luas dan melindungi lebih banyak hak warga negara.
Advertisement
Batas Pengajuan Praperadilan
Permohonan gugatan praperadilan yang diajukan lebih dari satu kali masih dapat diterima oleh hakim. Hal ini lantaran tidak adanya aturan yang tegas membahas tentang pengajuan praperadilan lebih dari satu kali di dalam KUHAP.
Namun permohonan praperadilan dinyatakan gugur ketika sidang pertama pokok perkara yang digugat dalam praperadilan itu telah dimulai. Artinya, ketika kasus dugaan suap yang melibatkan Hasto sudah mulai disidangkan, maka upaya praperadilannya akan gugur.
Hal ini sebagaimana putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 102/PUU-XIII/2015. MK telah memberikan penafsiran batas waktu yang dimaksud oleh Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, yaitu permohonan praperadilan dinyatakan gugur ketika telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan, terlepas dari apapun agenda dalam sidang pertama tersebut.
Pendirian Mahkamah sebagaimana termaktub dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015 tersebut diperkuat dan ditegaskan kembali dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 66/PUU-XVI/2018 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 27/PUU-XXI/2023. Demikian seperti dikutip dari laman mkri.id.
Perkembangan Hukum Praperadilan
Penting untuk diingat bahwa hukum bersifat dinamis dan terus berkembang. Oleh karena itu, dasar hukum praperadilan juga berpotensi mengalami perubahan atau penambahan di masa mendatang.
Perkembangan hukum ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk perubahan kebutuhan masyarakat, perkembangan teknologi, dan putusan-putusan pengadilan yang baru.
Dengan demikian, untuk selalu mendapatkan pemahaman yang up-to-date mengenai dasar hukum praperadilan, kita perlu selalu mengikuti perkembangan hukum dan literatur hukum terbaru. Hal ini penting agar kita dapat memahami dan menerapkan hukum dengan tepat dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Kesimpulannya, dasar hukum praperadilan di Indonesia merupakan kombinasi dari ketentuan dalam KUHAP dan putusan-putusan MK. Pemahaman yang komprehensif atas kedua sumber hukum tersebut sangat penting untuk memahami mekanisme dan cakupan praperadilan dalam sistem hukum Indonesia. Kasus praperadilan Hasto Kristiyanto menjadi contoh nyata betapa pentingnya pemahaman ini bagi publik.
Advertisement
