Pemerintah Dinilai Belum Tegas Interpretasikan Prinsip Bebas Aktif Indonesia

Ketua Departemen Hubungan Internasional CSIS Lina Alexandra menilai, pemerintah Indonesia belum terlihat secara tegas menginterpretasikan prinsip bebas dan aktif dalam kebijakan luar negeri.

oleh Tim News diperbarui 14 Jan 2025, 05:50 WIB
Diterbitkan 14 Jan 2025, 05:50 WIB
Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Xi Jinping, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono dan sejumlah pemimpin negara/utusan khusus berpose saat menghadiri KTT BRICS di Kazan, Rusia, Kamis, (24/10/2024).
Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden China Xi Jinping, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Sugiono dan sejumlah pemimpin negara/utusan khusus berpose saat menghadiri KTT BRICS di Kazan, Rusia, Kamis, (24/10/2024). (Alexander Nemenov, Pool Photo via AP)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Departemen Hubungan Internasional CSIS Lina Alexandra menilai, pemerintah Indonesia belum terlihat secara tegas menginterpretasikan prinsip bebas dan aktif dalam kebijakan luar negeri. Menurutnya, pemerintah seringkali ada salah tafsir dalam menerapkan prinsip bebas aktif.

Hal ini disampaikan Lina merespons pernyataan tahunan Menteri Luar Negeri 2025 dan Jelang 100 Hari Diplomasi Prabowo dalam diskusi CSIS Indonesia, Senin (13/1/2025).

"Kita tidak bisa melihat secara tegas bagaimana pemerintahan yang baru ini menginterpretasikan prinsip bebas dan aktif dan ini merupakan hal yang sangat ditunggu-tunggu, karena seringkali yang kita lihat ada kesalahan penerjemahan dari prinsip bebas aktif ini," ujar Lina.

Bahkan, kata Lina, dalam beberapa waktu terakhir banyak kritik bahwa pemerintah Indonesia terlihat sudah meninggalkan prinsip bebas aktif. Menurutnya, penjelasan Menlu Sugiono terkait bebas aktif pun tidak terlalu jelas.

"Bahkan memang banyak disampaikan, karena kita tahu banyak sekali kritik bahwa pemerintah Indonesia dalam beberapa waktu terakhir itu sudah pada prinsipnya meninggalkan bebas aktif ini," ucapnya.

"Dan Menlu di dalam pidatonya sendiri menyebutkan, ketika menyebutkan BRICS disebutkan bahwa Indonesia tidak meninggalkan prinsip ini, tetapi penjelasannya tidak terlalu jelas," sambung Lina.

Lina menambahkan, seringkali bebas aktif dijadikan sebuah tujuan. Padahal hal itu adalah sebuah prinsip bagi Indonesia yang mesti tetap dipegang.

"Seringkali kesalahannya adalah bebas aktif ini dijadikan tujuan, kita bebas, kita aktif, ini suatu tujuan, padahal ini sebenarnya adalah prinsip yang meng-guide bagaimana kita berusaha melakukan kebijakan luar negeri kita," pungkasnya.

Untung Rugi Indonesia Gabung BRICS

Di sisi lain, Peneliti Hubungan Internasional CSIS Muhammad Habib bicara mengenai untuk rugi gabungnya Indonesia dalam keanggotaan BRICS. Menurutnya, tak bisa serta merta mengkalkulasikan keuntungan ekonomi Indonesia dalam BRICS.

"Bagaimana kita mengkalkulasikan untuk rugi kita dari pada keanggotaan Indonesia BRICS, saya rasa betul bahwa kita tidak bisa menggunakan perangkat penilaian untuk menghitung perangkat tradisional free trade agremeent (FTA) untuk menghitung keuntungan kita dari BRICS, karena BRICS sendiri bukan mekanisme FTA," kata Habib, Senin (13/1/2025).

"BRICS tidak menawarkan market akses, tidak menawarkan juga pengurangan hambatan perdagangan," sambungnya.

Namun, Habib menerangkan, yang bisa dilakukan Indonesia adalah menggunakan kombinasi antara perangkat penilaian geopolitik ataupun konsekuensi dari geopolitik itu sendiri.

"Apa yang akan ditimbulkan dari pada keanggotaan kita disana, dan juga berbagai macam agenda yang disana tentu kita harus lebih selektif di dalam partisipasi kita dalam setiap anggota BRICS," ucapnya.

Habib mengambil contoh, salah satu agenda yang sering kali disebut di BRICS mengenai dedolarisasi. Namun, ia menyarankan agar pemerintah Indonesia tak perlu ikut-ikutan dalam dedolarisasi.

Sebab, dedolarisasi yang dimaksud oleh negara BRICS berbeda dengan Local Currency Settlement (LCS) yang digalakkan Indonesia.

 

Dedolarisasi

Habib menjelaskan, LCS yang digalakkan Indonesia dengan beberapa negara berkembang dan mitra perdagangan Indonesia motivasinya adalah ekonomi. Tujuannya, membuat perdagangan lebih efisien serta memperhatikan kaidah nasional yang berlaku.

"Sedangkan dedolarisasi sendiri bermakna itu mengurangi penggunaan dollar baik itu untuk perdagangan-trade, ataupun untuk cadangan luar negeri atau reserved," ujarnya.

Habib melanjutkan, dedolarisasi sering kali disebut untuk mengganti dengan mata uang digital lainnya seperti kripto.

"Jadi dua benda berbeda antara dedolarisasi dan Local Currency Settlement, kalau Indonesia ingin menciptakan perdagangan lebih adil mengedepankan Local Currency Settlement sendiri ini juga," imbuhnya.

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra

Sumber: Merdeka.com

 

Infografis Prabowo Beri Kesempatan Koruptor Tobat
Infografis Prabowo Beri Kesempatan Koruptor Tobat. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya