Pengamat: Pemerintah Kejar Pertumbuhan Ekonomi, tapi Upah Pekerja Terabaikan

CSIS meminta Prabowo tidak hanya berfokus dalam mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen. Yang terpenting menciptakan lapangan kerja berkualitas.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana Diperbarui 12 Mar 2025, 20:11 WIB
Diterbitkan 12 Mar 2025, 20:11 WIB
Pengamat: Pemerintah Kejar Pertumbuhan Ekonomi, tapi Upah Pekerja Terabaikan
CSIS menyoroti masalah ketenagakerjaan di Indonesia yang masih timpang dengan target pertumbuhan ekonomi tinggi.(Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menyoroti masalah ketenagakerjaan di Indonesia yang masih timpang dengan target pertumbuhan ekonomi tinggi. Lantaran, saat ini masih sangat banyak pekerja dengan gaji di bawah rata-rata upah minimum. 

Menurut dia, target pertumbuhan ekonomi nasional dari pemerintah merupakan hal klasik. Yose mengatakan, itu jadi fenomena berulang sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Joko Widodo (Jokowi), hingga Prabowo Subianto. 

"Saya rasa ini yang perlu kita perbaiki. Pertumbuhan ekonomi itu penting, tapi tak akan jadi perbaikan ekonomi kalau tidak dimanifestasikan pada pembentukan situasi ketenagakerjaan lebih baik," ujar dia dalam sesi focus group discussuon (FGD) bersama Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di Jakarta, Rabu (12/3/2025). 

Terkhusus pada pemerintahan saat ini, Yose meminta Prabowo tidak hanya berfokus dalam mengejar pertumbuhan ekonomi 8 persen. Yang terpenting, ia menuturkan, menciptakan lapangan kerja berkualitas. 

"Bisa saja pertumbuhan ekonomi 8 persen, tapi benar-benar hanya didorong oleh sektor-sektor yang bersifat capital intensive (padat modal) yang tidak membuka lapangan kerja berkualitas," singgungnya.  

Yose coba membongkar masalah ketenagakerjaan dari beberapa sudut pandag makro ekonomi. Pertama, ia menyoroti jumlah pekerja informal di Indonesia yang terlampau tinggi. 

"Kenapa jadi permasalahan, disebabkan karena satu, informalitas berikan return atau penghasilan lebih rendah. Kedua, di sektor informal, proteksi terhadap tenaga kerja tidak mencukupi. Lainnya, penghasilan yang mereka dapatkan fluktuasinya tinggi sekali," bebernya. 

 

 

Promosi 1

Masalah Upah

Naik 6,5 Persen, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jadi Landasan Kuat Kenaikan Upah Minimum 2025
Angka itu lebih besar dari rata-rata kenaikan tahun 2024 sebesar 3,6 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Bila ditelaah lebih jauh ke sektor formal, itu pun disebutnya belum tentu memberikan kualitas pekerjaan lebih baik.  

"Yang paling gampang saja dari sisi upah. Bandingkan upah minimum dengan upah rata-rata. Pertumbuhan upah minimum jauh lebih rendah dibanding upah rata-rata. Setelah pandemi covid gap-nya semakin jauh," imbuh dia. 

Secara total, Yose menyebut hanya 36 persen dari pekerja formal yang menerima upah di atas dari upah minimum. Sementara mayoritas atau sisa 64 persen dari pekerja bahkan tidak mendapat gaji sesuai upah minimum. 

"Bahkan di daerah seperti Jakarta saja, kita bisa dapatkan pekerja di tempat kerja formal yang dapat gaji Rp 500 ribu seminggu. Sekali lagi, low quality of job jadi permasalahan yang kita hadapi bersama," tegas dia. 

Produktivitas Rendah

Naik 6,5 Persen, Pertumbuhan Ekonomi dan Inflasi Jadi Landasan Kuat Kenaikan Upah Minimum 2025
Pemerintah secara resmi memutuskan kenaikan Upah Minimum Nasional (UMN) sebesar 6,5 persen untuk tahun 2025. Pengumuman kenaikan upah minimum tersebut disampaikan langsung Presiden Prabowo Subianto usai rapat terbatas pada Jumat (29/11/2024). (Liputan6.com/Angga Yuniar)... Selengkapnya

Berikutnya, Yose menyinggung tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia masih terlalu rendah, bahkan jika dibandingkan dengan negara tetangga di kawasan ASEAN.

"Bandingkan dengan negara lain di ASEAN, produktivitas kita perlu diperbaiki. Ini datang dari dua sisi, kemampuan dari tenaga kerja itu sendiri, dan teknologi serta peralatan yang digunakan. Jadi dua hal ini harus diperbaiki," sebutnya.

Terakhir, ia menyoroti kondisi pasar ketenagakerjaan di Indonesia dari sisi regulasi. Sebab secara payung hukum, pemerintah saat ini lebih cenderung memproteksi para pekerja formal.

"Ini sangat dirasakan untuk perusahaan yg bersifat manufacturing dan juga menengah ke atas. Karena yang sifatnya lebih informal serta kecil mungkin tidak terkait labour market regulation," ungkap dia. 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil observasinya, permasalahan di sektor manufaktur di Indonesia bisa ditelusuri pada labour market regulations yang mengatur hubungan antara pekerja dan pemberi kerja.  

Menurut pandangannya, pertumbuhan ekonomi yang melesat dari waktu-waktu sebelumnya belum diimbangi oleh jumlah okupansi tenaga kerja. 

"Bagaimana jumlah tenaga kerja di large manufacturing sempat turun jauh, terutama di tekstil dan garmen dibandingkan awal tahun 2000an. Bahkan secara umum, meskipun berikutnya bisa recovery, hanya meningkat 40 persen lebih tinggi dari tahun 2000an," urainya. 

"Padahal pertumbuhan ekonomi meningkat 150 persen. Artinya pertumbuhan ekonomi tidak terealisasi di pertumbuhan tenaga kerja manufacturing," pungkas Yose.

Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global
Infografis Efek Donald Trump Menang Pilpres AS ke Perekonomian Global. (Liputan6.com/Abdillah)... Selengkapnya
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya