Liputan6.com, Jakarta - Dalam upaya mencapai target ambisius pertumbuhan ekonomi sebesar 8%, Presiden Prabowo Subianto menghadirkan sebuah strategi baru dengan pembentukan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau yang dikenal sebagai Danantara.
Langkah ini bertujuan untuk menjaring investasi besar, baik domestik maupun asing, guna memperkecil kesenjangan investasi (saving-investment gap).
Baca Juga
Hal ini karena untuk mencapai pertumbuhan ekonomi 8%, dibutuhkan investasi sebesar Rp 33.000 triliun hingga tahun 2029 atau sekitar Rp 6.000 hingga Rp 7.000 triliun per tahun. Sementara itu, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memiliki keterbatasan, tidak hanya karena perannya yang mencakup fungsi sosial, tetapi juga karena aturan hukum yang membatasi defisit anggaran maksimal 3% dari GDP.
Advertisement
“Dana investasi tersebut sangatlah besar. Jadi, kata kunci dari pertumbuhan tinggi adalah butuh duit atau dalam bahasan makro ekonominya adalah likuiditas. Kalau likuiditasnya tidak nambah dan perputarannya tidak kencang agak susah berbicara pertumbuhan yang akseleratif,” ujar Eko Listiyanto, Wakil Direktur INDEF.
Eko, yang juga Direktur Pengembangan Big Data INDEF ini menegaskan bahwa salah satu solusi yang paling memungkinkan adalah menggerakkan sektor non-pemerintah dan menarik investor untuk menanamkan modal di Indonesia. Danantara dirancang untuk menjadi lembaga besar yang profesional dan mampu menjembatani kebutuhan likuiditas dengan memperkuat sektor riil.
Caranya dengan melakukan terobosan-terobosan. PMDN memang perlu ditingkatkan. Namun, Indonesia tidak bisa lepas dari investor asing karena mengejar pertumbuhan tinggi. Jadi, bagaimana mendorong Foreign Direct Investment (FDI) bisa masuk ke Indonesia yang kemudian dieksekusi untuk memperkuat usaha-usaha di sektor riil.
“Hadirnya Danantara adalah mengusung konsep menjaring investor baik domestik maupun asing lebih banyak lagi terutama untuk memperkecil The Saving-investment Gap tersebut. Dengan adanya kelembagaan Danantara yang besar dan lebih professional diharapkan banyak investor yang masuk ke Indonesia,” ujarnya.
“Poin pentingnya adalah Danantara merupakan jalan keluar untuk bisa memastikan lebih banyak lagi likuiditas yang bisa berputar untuk memperkuat sektor riil kita,” tandasnya.
Eko memaparkan, konsep Danantara terinspirasi dari lembaga investasi terkenal seperti Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah Nasional di Malaysia. Namun, Danantara diharapkan tidak hanya setara, tetapi mampu melampaui kedua lembaga tersebut. Untuk mencapai itu, tata kelola, regulasi, serta peran dan tanggung jawabnya harus dipastikan jelas sejak awal.
“Sejauh ini, strategi besar untuk Danantara sudah ada, tetapi proses pembentukan regulasi dan penyusunan struktur kelembagaannya masih dalam tahap pengembangan. Hal ini mencakup pemilihan figur-figur yang akan mengelola Danantara, daftar BUMN yang akan dimasukkan ke dalam pengelolaan Danantara, serta target dan tujuan spesifiknya,” ujarnya.
Tantangan
Di sisi lain, Eko memberi catatan bahwa keberadaan Danantara membawa sejumlah tantangan. Salah satu kekhawatiran utama adalah potensi kerumitan yang muncul karena tambahan lembaga baru di tengah struktur yang sudah ada.
“Dalam konteks ini, penting untuk memastikan bahwa peran Danantara tidak tumpang tindih dengan BUMN yang masih beroperasi. Jika tidak, hal ini justru dapat menghambat arus investasi dan pengelolaan aset,” tandasnya.
Selain itu, kata Eko para pemangku kebijakan harus menanggalkan ego sektoral dan memastikan bahwa Danantara dikelola secara profesional, tanpa terpengaruh oleh kepentingan politik. Hal ini sangat penting, mengingat investor global cenderung menghindari risiko politik dan memprioritaskan kejelasan regulasi serta transparansi dalam pengelolaan investasi.
Keberhasilan Danantara sangat bergantung pada profesionalitas pengelolaannya. Eko menekankan pentingnya menjadikan Danantara sebagai lembaga yang menarik bagi investor lokal dan internasional.
“Investasi yang dilakukan harus berbasis perhitungan ekonomi, bukan arahan politik. Kalau ada program yang diarahkan hanya karena kepentingan tertentu, itu akan membuyarkan konsep awal Danantara,” ujarnya.
Investor global juga memiliki preferensi tertentu, seperti investasi berkelanjutan (green investment) yang saat ini sedang menjadi tren. Karena itu, Danantara perlu mengarahkan investasinya ke sektor-sektor yang sesuai dengan preferensi ini untuk meningkatkan daya tarik di mata investor.
“Danantara memiliki potensi besar untuk menjadi motor penggerak likuiditas investasi dan meningkatkan profesionalitas pengelolaan BUMN,” tegasnya.
Advertisement