Liputan6.com, Jakarta - Tidak hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pihak Polri juga kini tengah melakukan penyidikan terkait kasus dugaan korupsi dan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dalam pemberian pembiayaan kepada PT Duta Sarana Tehnology (PT DST) dan PT Maxima Inti Finance (PT MIF) oleh Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) Tahun 2012-2016.
"Penyidik telah melakukan gelar perkara Direktorat Tipidkor Bareskrim Polri, dengan kesimpulan telah ditemukan adanya peristiwa dugaan tindak pidana korupsi dalam pemberian pembiayaan kepada PT DST dan PT MIF oleh LPEI, yang diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara pada tahun 2012-2016 dan dugaan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana korupsi tersebut," ujar Wakakortastipikor Polri Brigjen Arief Adiharsa, Senin (3/1/2025).
Advertisement
Baca Juga
Menurut Arief, LPEI pada 2012-2014 telah melakukan permufakatan dengan PT DST, sehingga terjadi pemberian pembiayaan kepada PT DST dengan proses yang menyimpang dari pedoman atau prosedur pemberian kredit yang berlaku di LPEI.
Advertisement
"Akibatnya, pekerjaan fiktif disetujui oleh pemutus kredit. Uang hasil pencairan digunakan bukan untuk kepentingan sesuai pengajuan dan keputusan kredit yang berakibat kredit macet sebesar Rp45.000.000.000 dan USD 4.125.000," jelas dia.
Selanjutnya, pihak direksi dan staf PT DST berupaya menyelesaikan kredit macet dengan skema novasi alias mencari debitur yang bisa melunasi utang. Akhirnya, disepakati PT MIF yang akan mengambil alih kredit PT DST dan akan membayar lunas kredit tersebut.
"Dengan cara PT MIF menjadi debitur LPEI dan mendapatkan pembiayaan yang sebagian dipakai untuk untuk kepentingan novasi tersebut. Proses novasi tersebut tidak sesuai ketentuan dan seolah-olah PT DST telah melunasi utangnya," ungkap Arief.
Data Palsu
Berdasarkan kesepakatan novasi, LPEI pada 2014-2016 telah memberikan pembiayaan kepada PT MIF sebesar USD 47.500.000 dengan proses yang menyimpang atau terjadi perbuatan melawan hukum, yaitu terjadi penyimpangan pada proses analisis permohonan sampai dengan perjanjian pembiayaan disetujui, sehingga permohonan dengan data palsu terus berproses, padahal seharusnya dihentikan.
Kemudian, penyimpangan pada proses pencairan dan monitoring kolektabilitas pembiayaan. Setelah pencairan kredit, penggunaan uang juga tidak dilakukan monitoring, sehingga debitur dapat menggunakannya untuk kepentingan selain dari perjanjian kredit, dan hal itu telah berproses secara berulang-ulang.
"Bahwa dana dari hasil pencairan kredit tersebut tidak digunakan sebagaimana peruntukan, namun untuk pelunasan utang PT DST sebesar USD 9.000.000 dan kepentingan lain dari pihak PT MIF, sehingga pada tahun 2022 PT MIF mengalami pailit dan tidak mampu melunasi seluruh kewajiban hutang kepada LPEI sebesar USD 43.617.739.13, yang merupakan kerugian negara," kata Arief.
Advertisement
Perkaya Debitur
Lebih lanjut, hasil dari pemberian pembiayaan yang tidak sesuai ketentuan dan berakibat macet tersebut, LPEI telah memperkaya pihak debitur. Sejauh ini, sudah ada 27 saksi yang diperiksa yang terdiri dari LPEI, debitur, lessee, bowheer, dan pihak terkait lainnya.
"PT DST uang kredit sebesar Rp45.000.000.000 dan USD 4.125.000 telah digunakan tidak sesuai peruntukan kredit dengan pola-pola tindak pidana pencucian uang. PT MIF uang kredit sebesar USD 47.498.141 telah digunakan untuk menovasi hutang PT DST di LPEI dan kepentingan pihak perusahaan lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan pemberian kredit," Arief menandaskan.
Adapun Pasal yang disangkakan dalam kasus LPEI yaitu Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan; dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang yang berasal dari Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.