Liputan6.com, Jakarta - Pengadilan Tinggi Jakarta mengabulkan upaya banding tim jaksa dalam kasus korupsi timah yang menjerat Harvey Moeis. Hukuman suami Sandra Dewi itu diperberat dari 6,5 tahun menjadi 20 tahun penjara, dengan kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 420 miliar.
Guru Besar Hukum Universitas Padjadjaran, Romli Atmasasmita, menyebut vonis tersebut sebagai miscarriage of justice atau kekeliruan dalam penegakan hukum. Menurutnya, ada sejumlah kejanggalan dalam pertimbangan majelis hakim, terutama terkait dasar perhitungan kerugian negara.
Baca Juga
"Kerugian negara dalam putusan pengadilan bukan kerugian nyata (actual loss), namun hukuman Harvey Moeis justru diberatkan menjadi 20 tahun penjara dan uang pengganti sebesar Rp 420 miliar. Ini tidak tepat," ujar Romli dalam keterangan resminya, Jumat (14/2/2025).
Advertisement
Romli juga menilai, uang pengganti Rp 420 miliar yang dibebankan kepada Harvey juga tidak dilengkapi dengan bukti yang sah. Selain itu, dakwaan terkait pemufakatan jahat antara Harvey Moeis dan terdakwa lain juga diyakini tidak terbukti selama persidangan.
“Dakwaan tindak pidana korupsi dalam kasus ini secara normatif berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999 bukanlah tindak pidana korupsi. Pelanggaran terhadap UU Pertambangan tidak secara tegas diatur sebagai tindak pidana korupsi," jelas Romli.
Sebagai bagian dari tim perancang undang-undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Romli juga menilai hukuman penjara menjadi 20 tahun, dan uang pengganti dari Rp 210 miliar melonjak menjadi Rp 420 miliar tidak proporsional. Sebab, Harvey diduga bukan sebagai aktor intelektual dalam kasus terkait. Padahal dia hanya terlibat dalam kontrak sewa smelter dan kontrak kerja dengan penduduk sekitar tambang, yang notabene bukan penambang liar melainkan warisan turun-temurun.
“Ini menunjukkan bahwa Harvey Moeis dianggap sebagai aktor intelektual, padahal fakta persidangan membuktikan sebaliknya. Harvey Moeis dijerat pasal penyertaan (Pasal 55 KUHP), padahal ia tidak memiliki peran sebagai aktor intelektual," catat Romli.
Diselesaikan Melalui Jalur Perdata
Sementara itu, Helena Lim yang juga mendapat pemberatan hukuman dari Pengadilan Tinggi Jakarta menjadi 10 tahun, Pakar Bidang Studi Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yoni Agus Setyono menyatakan seharusnya kasus ini dapat diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana korupsi.
"Kerugian negara dalam kasus ini masih diperdebatkan. Penyelesaian yang tepat adalah melalui gugatan perdata, bukan Tipikor," kata Yoni dalam keterangan terpisah.
Menurut Yoni, Undang-Undang Lingkungan Hidup Tahun 2009 memberi kewenangan kepada pemerintah untuk mengajukan gugatan perdata terhadap subjek hukum lain, termasuk warga negara dan badan hukum.
“Ini pertama kalinya pemerintah memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan perdata. Hitungan kerugiannya pun sudah diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Tahun 2014," jelasnya.
Advertisement
Kerugian Negara Belum Jelas
Yoni menjelaskan, jika tujuannya adalah untuk mengembalikan kerugian negara atas dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tata niaga timah di wilayah IUP PT Timah maka jalur perdata lebih memungkinkan.
"Kalau kerugiannya belum jelas, mengapa dibawa ke pidana?," tanya Yoni.
Yoni pun menyarankan, para terhukum masih memiliki kesempatan untuk melakukan upaya hukum lanjutan melalui Mahkamah Agung (MA). Menurut dia, MA masih menimbang ulang putusan Pengadilan Tinggi Jakarta jika melihat secara utuh dari memori kasasi.
"Jika pelanggaran lingkungan hidup, maka harus dilihat berdasarkan UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor," Yoni menandasi.
![Loading](https://cdn-production-assets-kly.akamaized.net/assets/images/articles/loadingbox-liputan6.gif)