Liputan6.com, Jakarta Tren tagar #KaburAjaDulu yang sedang ramai di media sosial. Ajakan hijrah dari Indonesia ke negeri orang lain bukan tanpa sebab. Tagar ini dinilai merupakan manifestasi dari frustrasi yang mendalam atas berbagai permasalahan yang dihadapi.
Terkait hal ini, Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris mengatakan, ajakan di media sosial tersebut merupakan suara anak muda yang harus direspons pemerintah dengan bijaksana.
Baca Juga
"Bukan dengan sembarang mencap orang tidak nasionalis, atau bahkan dengan ucapan antipati 'kalau perlu jangan balik lagi'," kata dia dalam keterangannya, Selasa (18/2/2025).
Advertisement
Ajakan bertajuk 'Kabur Aja Dulu' tersebut, kata Charles, harusnya dijadikan sebuah momen oleh pemerintah untuk melakukan autokritik.Â
"Buat dirinya sendiri, bahwa banyak anak muda kita hari ini yang tidak puas dengan berbagai kondisi dalam negeri, yang akhirnya berpengaruh negatif pada pekerjaan atau peluang mereka dalam mendapatkan pekerjaan yang layak," ungkap dia.
Politikus PDI Perjuangan (PDIP) ini mengingatkan, dalam konstitusi diatur bahwa setiap orang berhak untuk memilih pekerjaan dan bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Termasuk dalam memilih bekerja di luar negeri.
"Jadi, bekerja di luar negeri adalah hak setiap warga negara demi memajukan kehidupannya. Namun yang terpenting semua prosesnya harus dilakukan sesuai prosedur," jelas Charles.
Dia justru berharap Kementerian P2MI bisa membuka lebih luas lagi berbagai peluang kerja di luar negeri bagi WNI dengan keahlian seperti perawat atau tenaga medis, tenaga kerja industri, dan sebagainya.
"Jangan lupa, PMI kita di luar negeri adalah penyumbang devisa kedua terbesar bagi negara. Dengan devisa Rp 230 T per tahun, mereka adalah pahlawan bagi perekonomian Indonesia. Dengan adanya fenomena #KaburAjaDulu, pemerintah justru harus fokus dalam memperkuat program-program penempatan dan pelindungan bagi PMI kita di luar negeri," pungkasnya.
Bagian Gerakan Sosial
Sosiolog dari Universitas Indonesia Ida Ruwaida menilai, pada era digital saat ini, media sosial bisa menjadi salah satu sarana dalam melakukan upaya edukasi masyarakat. Selain itu juga dapat dijadikan tekanan publik baik secara sosial, psikologis, politik bahkan ekonomi.
"Secara sosiologis, juga bisa menjadi sumberdaya dalam melakukan aktivisme sosial, termasuk gerakan sosial," kata dia kepada Liputan6.com, Jumat (14/2/20250.
Ia mengungkapkan, #KaburAjaDulu merupakan ekspresi sebagian kelompok yang disampaikan melalui media sosial. Karena menurut mereka, medsos dianggap sebagai saluran komunikasi yang tersedia, terbuka bagi publik, dan dianggap aman dan punya daya pengaruh besar.
Untuk itu, dia menilai tagar yang menghebohkan ini belum tentu dibangun oleh gen Z semata. Banyak elemen lain yang bermain dalam dunia maya tersebut.
"Di dunia digital, harus juga dipahami bahwa narasi yang terbangun apakah memang dibangun murni oleh Gen-Z? Karena melalui medsos berbagai kelompok kepentingan bisa memanfaatkan atau bahasa lainnya "mendulang di air keruh'," ujarnya.
"Artinya netizen tetap perlu bersikap kritis atas wacana yang muncul tersebut," Ida menegaskan.
Dia menuturkan, kemunculan tagar ini tidak sertamerta menjadi hal yang lumrah atas kondisi Indonesia saat ini. Sebab perpindahan masyarakat pada era saat ini, harus disikapi sebagai dampak dari globalisasi.
"Wajar tidaknya tentu terkait daya kritis publik dalam mensikapi tagar tersebut. Secara sosiologis, sebagai dampak globalisasi, memang terjadi peningkatan mobilitas warga dunia, termasuk hadirnya berbagai warga asing di Indonesia," jelas dia.
Artinya, dia menegaskan, adanya WNI yang 'keluar negeri' dan kemudian mmutuskan 'menetap' di negara lain, masih perlu dikaji berapa banyak yang "kabur". "Dan apakah itu merupakan wujud resistensi bahkan perlawanan pada pemerintah?" tanyanya.
Advertisement
Bekerja di Mana pun itu Hak Asasi Manusia
Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo memberikan pandangan terhadap tren yang sedang ramai di media sosial saat ini. Menurutnya tren #KaburAjaDulu merupakan bentuk frustasi dari masyarakat kepada situasi yang sedang ada di Indonesia.Â
"Saya kira isu kabur aja dulu itu sebenarnya bukti frustasi ya atas situasi yang ada di dalam negeri dan mereka memilih opsi untuk ke luar negeri," kata Wahyu kepada Liputan6.com, Jumat (14/2/2025)
Ia juga menambahkan bahwa fenomena ini lebih banyak terjadi di kalangan kelas menengah. Fenomena viral di media sosial mencerminkan berbagai pilihan yang bisa diambil masyarakat Indonesia untuk mencari peluang di luar negeri. Beberapa opsi yang umum dilakukan adalah mencari beasiswa atau menggunakan jalur pekerja musiman "seasonal worker".
"Jadi mereka bisa pakai jalur jadi turis dulu terus kabur kemudian cari beasiswa kalau yang agak sistematik terus nanti berpikir lagi apakah akan balik atau tidak, kemudian juga pakai jalur-jalur seasonal worker," jelas Wahyu
Selain itu, jalur ini juga menjadi alternatif, seperti working holiday visa di Australia atau program pekerja musiman di Inggris dan negara lainnya. Ia menilai keputusan seseorang untuk mencari peluang di luar negeri merupakan bagian dari hak asasi manusia.
"Jadi saya kira hak bermobilitas itu termasuk hak asasi manusia, sama juga dengan hak untuk mencari kondisi yang nyaman," kata dia.
Ia menyebut tagar #KaburAjaDulu memiliki kemiripan dengan situasi pada 1998. Namun, perbedaannya terletak pada alasan dan jalur yang ditempuh masyarakat untuk pergi ke luar negeri.
"Situasi ini sebenarnya enggak jauh berbeda dengan di tahun 98 tapi kalau di tahun 98 itu ada reason misalnya teman-teman yang etnis Tionghoa itu bisa pakai opsi suaka politik," katanya
