Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum (Ketum) Partai Demokrat yang juga Menteri Koordinator (Menko) Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Wilayah, Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY menanggapi aksi Indonesia Gelap yang belakangan disuarakan berbagai pihak, termasuk dari kalangan mahasiswa.
"Ya, Demokrat akan terus menjadi bagian solusi dari permasalahan bangsa. Masalah, tantangan, datang dan pergi sesuai dengan ruang dan waktunya. Termasuk hari ini dan 5 tahun ke depan,” tutur AHY di kediaman Jalan Prapanca Raya, Jakarta Selatan, Minggu (23/2/2025).
Advertisement
Baca Juga
AHY menyebut, saat ini kader utama Demokrat cukup banyak mendapatkan posisi di Kabinet Merah Putih pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Sehingga, harapannya akan ada sinergitas yang baik antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, serta para wakil rakyat di semua tingkatan.
Advertisement
"Jadi tentu menyikapi apa yang terjadi saat ini di tengah-tengah masyarakat kita, baik yang memang harus segera kita carikan solusinya, maupun yang jangka panjang, karena selalu ada urgensi hari ini, tapi juga kepentingan jangka panjang juga harus bisa kita tata dari sekarang. Demokrat akan menjadi bagian tak terpisahkan dari upaya besar Bapak Presiden Prabowo Subianto dan pemerintahan hari ini," jelas dia.
Sebelumnya, Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) telah menggelar aksi demonstrasi bertajuk 'Indonesia Gelap' di sekitar Patung Kuda, Jakarta Pusat, di mana sebagai bentuk rasa kecewa terhadap sejumlah kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wapres Gibran Rakabuming Raka.
Tak hanya turun ke jalan, media sosial turut diramaikan dengan tagar aksi Indonesia Gelap yang mencapai 43,8 ribu postingan di platform X. Gerakan ini menjadi sorotan publik karena mengusung simbol Garuda dengan latar hitam, mencerminkan keprihatinan mahasiswa terhadap kondisi bangsa yang dinilai semakin jauh dari cita-cita kemakmuran.
Tuntutan Mahasiswa dalam Aksi Indonesia Gelap
Koordinator Pusat BEM SI, Herianto, mengungkapkan bahwa aksi Indonesia Gelap akan berlangsung selama tiga hari hingga Rabu (19/2/2025) dengan melibatkan sekitar 5.000 massa yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia.
Koordinator Pusat BEM SI, Herianto mengatakan ada sejumlah tuntutan mahasiswa dalam unjuk rasa 'Indonesia Gelap'. Salah satunya, meminta Prabowo mencabut Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 2025 tentang Efisiensi Anggaran yang dinilai merugikan masyarakat.
"Menuntut Presiden mencabut Inpres nomor 1 tahun 2025 yang merugikan rakyat," kata Herianto saat dihubungi, Senin (17/1/2025).
Selain itu, BEM SI menuntut transparansi status pembangunan dan transparansi keseluruhan program Makan Bergizi Gratis (MBG).
BEM SI juga menolak revisi UU Minerba dan dwifungsi TNI, serta meminta RUU Perampasan Aset disahkan. Demonstrasi yang diikuti oleh mahasiswa dan masyarakat itu berlangsung di Jakarta serta berbagai lokasi lainnya.
Unjuk rasa bertajuk "Indonesia Gelap" ini menuntut perhatian serius terhadap berbagai isu, termasuk penolakan terhadap pemotongan anggaran pendidikan dan revisi sejumlah Undang-Undang penting, seperti UU Kejaksaan, UU Polri, dan UU TNI.
"Aksi ini merupakan bentuk perlawanan terhadap berbagai kebijakan pemerintah yang dinilai semakin menjauh dari prinsip keadilan sosial, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat," kata Satria Naufal, Koorpus BEM SI Kerakyatan, Senin (17/2/2025).
Tuntutan massa Indonesia Gelap ini salah satunya mengenai pendidikan gratis, ilmiah, dan demokratis serta batalkan pemangkasan anggaran pendidikan. Menurut Satria, anggaran pendidikan yang layak adalah hal penting untuk memastikan seluruh rakyat akses pendidikan murah dan layak.
"Pendidikan adalah hak fundamental setiap warga negara. Pemangkasan anggaran pendidikan hanya akan memperdalam ketimpangan akses pendidikan dan memperburuk kualitasnya. Selain itu Mahasiswa meminta untuk melakukan evaluasi Proyek Strategis Nasional bermasalah hingga penolakan revisi UU Minerba," ujarnya.
Advertisement
Soroti Revisi Undang-Undang
Satria juga menambahkan bawa ada beberapa revisi UU yang akan mengancam kehidupan demokrasi dan hak asasi manusia. Pasalnya, kata dia, karena lembaga-lembaga negara berlomba meminta kewenangan yang berlebihan melalui beragam revisi UU.
Dalam revisi UU Polri, Polisi ingin memperluas kewenangan lebih agar dapat melakukan kontrol hingga pemblokiran terhadap konten-konten dalam media sosial. Sementara dalam rencana revisi UU Kejaksaan, Jaksa ingin memperkuat hak imunitasnya.
"Hak imunitas ini sebelumnya sudah diatur dalam UU Kejaksaan yang berlaku saat ini. Rencana revisi terhadap berbagai UU tersebut berbahaya dan menyimpang dari prinsip persamaan di hadapan hukum karena harusnya semua warga dan aparat negara tidak boleh mendapatkan imunitas itu. Sementara rencana revisi UU TNI akan memberi ruang untuk militer masuk kembali dalam penegakan hukum seperti masa lalu. Padahal hingga saaat ini militer belum tunduk pada peradilan umum, dan lagi-lagi kondisi tersebut sangat berbahaya untuk demokrasi," paparnya.
Selain tiga melakukan penolakan terhadap 3 revisi UU tersebut, gerakan mahasiswa juga menuntut agar Multifungsi ABRI dicabut. Sebagaimana diketahui saat ini banyak TNI aktif dan Polisi aktif menduduki jabatan-jabatan sipil. Hal ini jelas menyalahi demokrasi dan menyimpang dari tugas pokok mereka sebagaimana di atur dalam Undang-Undang.
