Perjalanan ke Roxas, `Diplomasi Rokok`, dan Bantuan yang Telat

Dengan menenteng senjata laras panjang, mereka mengawal kami. Mungkin karena bantuan yang dibawa, kami diperlakukan bak pejabat.

oleh Liputan6 diperbarui 30 Nov 2013, 10:02 WIB
Diterbitkan 30 Nov 2013, 10:02 WIB
perjalanan-ke-roxas-131129c.jpg
Dingin menyiksa tulang. Minggu 17 November 2013. Waktu menunjukkan pukul 05.30 waktu setempat. Setelah menyiapkan peralatan "perang", saya bersama teman-teman wartawan lain keluar hotel. Kami menumpang mobil mini bus milik hotel menuju bandara militer Cebu.

Setelah tiba, kami masih sempat sarapan roti gandum berteman air mineral, bawaan dari  hotel. Tak beberapa lama, komandan penerbangan pesawat Hercules C-130, Mayor Pnb Puguh Yulianto, bersama 15 krunya tiba.

Kami pun diarahkan menuju pesawat Hercules C-130 milik TNI AU yang telah terparkir di landasan dari bandara yang berjuluk "Queen Base Of The South" ini. Kru memanaskan mesin pesawat. Saya mulai deg-degan karena ini adalah awal "petualangan" kami.

Roxas (baca: Rohas) adalah tujuan kami. Kota yang terletak di Provinsi Capiz ini merupakan tempat penampungan bantuan dari Indonesia untuk korban bencana topan Haiyan. Pada pukul 07.00, bersama 11 ton lebih bantuan, kami berangkat menuju Roxas. Beberapa jurnalis asing nebeng dalam rombongan.

Selama perjalanan kami hanya terdiam melihat pemandangan udara melalui jendela Hercules. Setelah sekitar 40 menit, kota Roxas pun terlihat. Teman-teman fotografer dan kameraman bersiap mengambil momen pemandangan kota yang hancur akibat badai pada 8 November 2013 lalu.

Akhirnya, Hercules itu mendarat di Bandara Roxas City. Begitu pintu pesawat dibuka, perasaan mencekam langsung menyergap. Saya melihat menara pemantau lalu lintas udara (Air Traffic Control) rusak. Bisa dibayangkan, atap menara ATC yang kokoh itu hancur oleh angin.



Kemudian, beberapa anggota polisi dan militer Filipina pun langsung menuju pesawat untuk menurunkan bantuan 11 ton lebih yang kita bawa. Kami pun merekam aktivitas bongkar-muat tersebut.

Setelah 10 menit, salah satu staf kedutaan besar RI untuk Filipina meminta kami untuk bergegas. "Ayo, teman-teman, kita harus menuju kota. Jam 12 harus balik lagi ke Cebu," ujarnya.

Untuk menuju kota, kami menumpang mobil tentara Filipina. Dengan menenteng senjata laras panjang, mereka mengawal kami. Mungkin karena bantuan yang kami bawa, kami diperlakukan bak pejabat.

Dengan mengendarai 4 kendaraan, kami menuju kantor pemerintahan Roxas. Selama perjalanan, saya menyaksikan, bangunan rumah, sekolah, dan infrastruktur lain hancur akibat keganasan topan haiyan.

Setelah 10 menit perjalanan, kami langsung masuk ke dalam gedung pemerintahan Roxas. Di sini merupakan pusat koordinasi distribusi bantuan. Selain anggota pemerintah, ada juga anggota PBB, militer Kanada, dan sejumlah LSM asing.

Hanya sekitar dua jam di sana, kami melanjutkan perjalanan menuju barangai (desa) Dumolog yang tak jauh dari pusat kota. Tiba di kampung nelayan ini, masyarakat dengan ramah menyalami kami.

Bersama 3 fotografer lain,  saya menuju rumah-rumah yang terletak di pesisir pantai. Beberapa anak kecil menghampiri dan mengajak kami berbincang. Namun, kami tidak mengerti sama sekali apa yang mereka sampaikan karena menggunakan bahasa Tagalog.

Tertegun saya melihat ekspresi mereka saat berbincang dengan kita. Hanya senyum dan sebotol air mineral yang saya bisa berikan untuk membalas percakapan mereka.



Kami pun melanjutkan berjalan mengelilingi Dumolog. Di perjalanan, kami bertemu seorang wanita tua, dengan bahasa Inggris terpatah-patah ia mengajak kami melihat rumahnya.

Tiba di depan rumah, kesedihan semakin bertambah melihat bertambah puluhan rumah yang terbuat dari daun rumbia hancur. Warga mengaku selama 9 hari ini mereka belum mendapat bantuan.

Untung menyambung hidup, penduduk menyantap makanan yang terbuat dari kelapa. "Di sini kami kurang bahan makanan, terutama beras. Soal air, kami menadah dari air hujan," kata Jevin, seorang warga Dumolog.

Agak mengherankan. Saat tiba bandara Roxas City, saya banyak bantuan yang masuk. Dalam sehari saja, untuk pesawat kami, bolak-balik 3 kali membawa makanan, air bersih, dan barang-barang lain.



Sambil mengobrol dengan warga, saya bersama beberapa teman lain menawari rokok Indonesia. Warga bergembira menerima rokok dari kami. Mereka sangat berterima kasih.

Kami pun melanjutkan melihat sekolah dasar setempat yang menjadi tempat berlindung warga Dumolog saat topan Haiyan. Atap bangunan sekolah ini hampir seluruhnya hilang. Namun, keceriaan tetap terselip dari sejumlah anak yang bermain di lapangan basket .
 
Setelah 2 jam berada di Barangai Dumolog, kami pun kembali ke bandara karena Hercules akan segera kembali ke Cebu.

Kami diinformasikan, Tacloban akan dikunjungi esok hari. Kota di  Pulau Leyte ini adalah tujuan utama kami sebenarnya. Di sini ribuan jiwa hilang dan hampir seluruh kota porak poranda akibat bencana topan Haiyan. (Yus)

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya