Ketika Banjir Besar Terjang Batavia pada 1918

Rumah-rumah di Pasar baru, Gereja Katedral, dan Molenvliet (sekarang Lapangan Monas) menjadi lokasi pengungsian.

oleh Liputan6 diperbarui 22 Jan 2014, 22:11 WIB
Diterbitkan 22 Jan 2014, 22:11 WIB
banjir-batavia-140122c.jpg
Hujan menggempur Batavia sepanjang Januari-Februari 1918. Selama 22 hari. Kota yang kini bernama Jakarta itu selalu diselimuti mendung. Matahari jarang menampakkan diri.

Akhirnya, pada 4 Februari, Weltevreden (kini di sekitar Lapangan Banteng) tergenang. Ribuan warga mengungsi ke wilayah yang lebih tinggi.

Lalu, permukiman Tanah Tinggi, Kampung Lima, Kemayoran Belakang, Glodok, dan daerah-daerah lain juga turut tergenang. Air mencapai 1,5 meter di beberapa tempat.

Inilah salah satu banjir terbesar selama masa kolonial Belanda. Banjir dahsyat lain terjadi pada 1621. Ironisnya, pada masa tersebut, pemerintah kolonial Batavia baru saja menuntaskan pembangunan beberapa kanal untuk 'menjinakkan' aliran Sungai Ciliwung.

Pada 1878, hujan turun lebih lama ketimbang 1918. Pada waktu itu, 40 hari turun hujan terus-menerus hingga genteng rumah hancur. Tapi banjir yang datang tidak sebesar banjir 1918.


Pada banjir 1918, rumah-rumah di Pasar Baru, Gereja Katedral, dan Molenvliet (sekarang Lapangan Monas) menjadi lokasi pengungsian.

2 sekolah, Holl China School di Pinangsia dan Tiong Hoa Lie Hak Hauw di Blandongan diliburkan karena air masuk kelas. Banyak rumah siswa pun kebanjiran.

"Untuk memperlancar jalannya air, pintu air di Batavia dan Weltevreden dibuka. Namun, tindakan itu tidak bisa mengatasi derasnya air yang masuk ke permukiman," tulis Restu Gunawan dalam buku Gagalnya Sistem Kanal: Pengendalian Banjir Jakarta dari Masa ke Masa.

Air juga merambah ke Batavia bagian barat karena bendungan Sungai Grogol jebol. Toko-toko warga Tionghoa di Tambora dan Grogol terendam. Perahu kecil dikerahkan sebagai sarana transportasi.

Banjir juga menyebabkan sarana transportasi publik rusak. Trem listrik tak bisa melintas lantaran remnya tergenang. Di tempat lain, trem tak berfungsi karena mesinnya terkena air.

Mogoknya trem membuat tukang delman kebanjiran rezeki.  Namun, tak semua tukang delman meraup untung. Sebagian tak bisa bekerja karena rumah mereka juga kebanjiran.


Menurut Restu Gunawan, harga bahan pangan juga terkerek naik selama banjir. Warga berani membeli 35 gulden per pikul cabe tetapi penjual belum mau melepas. Harga beras naik dari 11,20 gulden menjadi 12 gulden per pikul.

Banjir sempat surut. Namun, beberapa hari kemudian, karena curah hujan yang tinggi, genangan muncul kembali. Demikian terjadi berulang-ulang.

Dalam situasi itu, ada saja yang mengambil kesempatan dalam kesempitan. Beberapa warga yang bekerja sebagai pelayan toko datang kepada para majikan untuk meminjam uang. Mereka membutuhkan uang karena terkena banjir.

Para majikan bersedia meminjamkan asal orang-orang itu membawa surat keterangan dari kepala kampung masing-masing. Seperti diberitakan koran Sin Po (20 Februari 1918), orang-orang itu kembali ke kampungnya dan minta surat keterangan. Tapi, kepala kampung justru minta 25 sen untuk selembar surat keterangan.

Namun, hadir juga banyak dermawan. Di sepanjang Molenvliet barat (kini Jl Gajah Mada) dan timur (Jl Hayam Wuruk), rumah-rumah warga Tionghoa dibuka untuk para pengungsi. Bukan hanya menyediakan tempat, mereka juga memberi makan para pengungsi yang kebanyakan kaum pribumi. (Yus)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya