Liputan6.com, Jakarta - Banjir yang melanda Jabodetabek pada awal Maret 2025 menjadi salah satu bencana terbesar yang pernah terjadi di kawasan ini. Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, dan Karawang mengalami dampak yang signifikan, dengan ribuan orang terpaksa mengungsi. Menurut Kementerian Kehutanan, bencana ini disebabkan oleh kombinasi faktor alam dan aktivitas manusia yang tidak terkendali.
Direktur Jenderal Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) Kementerian Kehutanan, Dyah Murtiningsih, menjelaskan bahwa banjir dan longsor tidak hanya disebabkan oleh DAS Ciliwung, tetapi juga melibatkan beberapa DAS lainnya.
Baca Juga
"Banjir bandang dan longsor di Puncak yakni Kecamatan Cisarua dan Kecamatan Megamendung terjadi di Sub DAS Ciliwung hulu dan DAS Ciliwung yang berada di kawasan Gunung Gede Pangrango termasuk kawasan lindung area PTPN," kata Diah saat penanaman pohon di kawasan Puncak Bogor, Sabtu (22/3/2025).
Advertisement
Sementara banjir di Bekasi terjadi di DAS Kali Bekasi, yang hulunya berada di kawasan Sentul. Sedangkan longsor di kawasan Batutulis terjadi di Sub DAS Cisadane hulu dan DAS Cisadane.
"Nah DAS Cisadane ini hulunya di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak," ujar Diah.
Sedangkan banjir di Tangerang Selatan berasal dari DAS Kali Angke Pesanggrahan. Dengan demikian, kata Diah, kejadian banjir di Bekasi dan Tangerang Selatan tidak berkaitan langsung dengan hulu DAS Ciliwung.
"Meskipun Kali Angke Pesanggrahan ini hulunya di Kabupaten Bogor tapi tidak saling berkaitan dengan hulu DAS Ciliwung. Begitu pula banjir Bekasi," kata dia.
Berdasarkan peta lahan kritis, seluas 2.200 hektare lahan di 4 DAS mengalami kerusakan. Seluas 800 hektare lahan kritis berada di kawasan hutan dan sekitar 1400 hektare di luar kawasan hutan.
"Khusus di kawasan Puncak Cisarua dan Megamendung yang mengalami kerusakan hutan sekitar 400, dimana 52 hektare ada di kawasan hutan 326 hektare di luar kawasan hutan," kata dia.
Alih Fungsi Lahan Menjadi Area Wisata
Diah menyampaikan lahan kritis disebabkan alih fungsi lahan menjadi kawasan terbangun area wisata, pemukiman dan vila. Alih fungsi lahan ini menyebabkan air hujan tidak meresap dengan baik ke dalam tanah.
"Akibatnya, sebagian besar air hujan langsung menjadi aliran permukaan yang meningkatkan risiko banjir dan longsor," terangnya.
Kondisi ini diperburuk oleh penyempitan badan sungai di beberapa titik akibat banyaknya pemukiman padat di bantaran sungai, sehingga kapasitas pengaliran air semakin menurun.
Advertisement
Penghijauan Jadi Langkah Konkret
Sementara itu, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengatakan penghijauan merupakan langkah konkret dalam menghadapi ancaman bencana hidrometeorologis.
"DAS yang harus diperbaiki ada sekitar 2200 hektar. Kebanyakan memang di APL (kawasan di luar hutan), dan 800 hektar di kawasan hutan. Tapi nanti di empat DAS itu akan kita hijaukan kembali secara bersama-sama," kata dia.
Namun ia berharap, kegiatan penanaman pohon ini bukan hanya sekadar seremonial, dilakukan penghijauan ketika sudah terjadi bencana alam.
"Untuk memulihkan ekosistem, menjaga keseimbangan lingkungan, serta mendukung ketahanan masyarakat terhadap bencana harus dilakukan bersama-sama dan berkesinambungan," ujarnya.
