Sering Terburu-buru? Hapus Kebiasaan Ini Bisa Bikin Lebih Bahagia

Budaya buru-buru telah ada sejak lama. Kecanduan kerja pun sudah ada sejak lama, istilah ini diciptakan pada tahun 1971 oleh Psikolog Wayne E. Oates.

oleh Amira Fatimatuz Zahra diperbarui 19 Okt 2023, 09:42 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2023, 09:41 WIB
Ilustrasi bekerja keras
Ilustrasi bekerja keras. (Image by master1305 on Freepik)

Liputan6.com, Jakarta - “Fokuslah pada kesibukanmu. Bergegas lebih keras. Tidur hanya untuk orang kaya.” Kamu pasti pernah mendengar ungkapan-ungkapan yang mempromosikan gagasan bahwa kesuksesan, prestasi, dan kebahagiaan semuanya dimungkinkan hanya untuk orang kaya.

Profesor psikologi di mata kuliah paling populer Universitas Yale dan pembawa acara podcast “The Happines Lab”, Laurie Santos mengatakan hal tersebut tidaklah benar.

“Banyak dari kita berpikir, ‘saya akan menundukkan kepala dan menghindari hubungan sosial, baik di tempat kerja atau tidak, dan saya hanya akan sibuk menyelesaikan pekerjaan,’” kata Santos kepada CNBC Make It. “Itu benar-benar salah.”

Mayo Clinic menulis pada blognya, bahwa bekerja terlalu keras dapat meningkatkan stres, depresi, dan kelelahan.

Menurut analisis tahun 2019 yang diterbitkan dalam International journal of Environmental Research and Public Health, hal ini bahkan dapat memberikan “efek buruk” pada kesehatan kerja, dengan kata lain, berdampak buruk bagi kesehatan dan kinerja pekerjaanmu. 

“Kita punya intuisi (bahwa) aku akan mendapat satu juta dolar, dan aku akan bahagia. Lalu, kamu terburu-buru sampai di sana dan tidak bahagia,” kata Santos. “Kamu berpikir, ‘saya harus bekerja lebih keras, sekarang saya membutuhkan USD 5 juta untuk (menjadi bahagia). Kesalahpahaman budaya terburu-buru itu akhirnya berlipat ganda,” jelas dia.

Kita butuh tidur, istirahat, dan koneksi

Ilustrasi Istirahat, Santai
Ilustrasi Istirahat, Santai (Photo created by lookstudio on Freepik)

Budaya buru-buru telah ada sejak lama. Kecanduan kerja pun sudah ada sejak lama, istilah ini diciptakan pada tahun 1971 oleh Psikolog Wayne E. Oates, yang menjelaskan bagaimana pekerjaan dapat menjadi kecanduan.

Baru-baru ini, para influencer media sosial menunjuk pengusaha teknologi Silicon Valley sebagai panutan. Menurutnya, jika kamu mengoptimalkan setiap momen dalam keseharian untuk produktivitas maksimal, kamu bisa menjadi kaya seperti mereka.

Beberapa orang mengambil langkah lebih jauh, ada anggapan jika kamu tidak mengorbankan tidur dan koneksi demi pekerjaan, kamu tidak akan pernah sukses.

Namun, orang yang mendapatkan tidur yang lebih berkualitas punya kepuasan hidup lebih besar dibandingkan yang tidak.

Temuan itu ada pada sebuah penelitian tahun 2018 yang diterbitkan di Frontiers in Psychology. Laporan Stanford Medicine pada tahun 2019 juga mengatakan, hal yang sama juga berlaku bagi orang-orang yang memiliki hubungan sosial yang kuat dengan orang lain.

“Anda perlu tidur, perlu istirahat, dan koneksi dengan orang lain untuk menjadi bahagia,” kata Santos.

Santos menambahkan, istirahat di kantor dan sering menghubungi keluarga dan teman juga bisa memberikan manfaat yang besar. Penelitian pun mendukung pendapatnya, “kebugaran sosial” menjadi salah satu kunci menuju kehidupan bahagia.

Pernyataan itu ditulis oleh Marc Schulz dan Robert Waldinger, direktur Harvard Study of Adult Development, kepada CNBC Make It pada Februari lalu.

“Kebugaran sosial mengharuskan kita memperhatikan hubungan kita dan bersikap jujur pada diri kita sendiri tentang dimana kita menghabiskan waktu kita dan apakah kita menjaga hubungan yang membantu kita berkembang,” tulis Schulz dan Waldinger.

Budaya buru-buru mungkin sudah berubah, menurut survei GoDaddy baru-baru ini terhadap 1.000 pemilik usaha kecil di Amerika Serikat. 54% responden mendefinisikan The American Dream sebagai “merasa bahagia dalam hidup,” menandai berkurangnya respon tradisional terhadap kekayaan.

“The American Dream sedang berubah menurut pemilik usaha kecil,” kata Kepala Pemasaran GoDaddy, Fara Howard pada bulan Juli. “Kondisi ekonomi telah menyebabkan sulitnya mendapatkan kepemilikan rumah, terutama bagi generasi Z, sementara pandemi dan ‘pengunduran diri’ besar besaran telah mendorong banyak orang untuk menghargai diri sendiri sebagai bos dan mendapatkan lebih banyak kebebasan, kenyamanan, dan fleksibilitas.”

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya