Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo menghadiri acara Peringatan Hari Antikorupsi di Hotel Bidakara, Jakarta, Senin, 11 Desember 2017 pagi.
Pada kesempatan itu, Presiden Jokowi mengutarakan keheranannya, mengapa masih ada pejabat yang melakukan tindakan korupsi, padahal sudah banyak yang ditangkap KPK.
Baca Juga
Presiden juga heran, dari waktu ke waktu pejabat yang ditangkap dan dipenjarakan karena kasus korupsi masih ada terus.
Advertisement
Indonesia termasuk negara dengan kategori paling aktif melakukan tindak pidana korupsi. Sejak 2004, lanjut Presiden, telah banyak pejabat, mulai dari tingkat daerah, pusat, bahkan anggota Dewan yang ditangkap KPK karena diduga ataupun dinyatakan bersalah oleh pengadilan atas tindakannya.
Menurut Presiden Jokowi, sejak 2004 sampai sekarang, ada 12 gubernur dan 64 bupati/wali kota tersandung korupsi. Belum termasuk pejabat-pejabat. Gubernur BI, kalau tidak keliru, ada dua yang ditangkap. Dari DPR dan DPRD, saya tidak hitung. Mayoritas adalah kasus penyuapan.
Keprihatian Presiden terhadap masifnya korupsi di kalangan birokrasi menunjukkan bahwa kesadaran mengelola dana publik secara transparan belum menjadi kebiasan dan perilaku pejabat.
Pejabat kita masih terjebak dalam paradigma birokrat lama (mental birokrat ndoro), bahwa pejabat harus dilayani dan difasilitasi, bukan melayani dan memfasilitasi masyarakatnya.
Dikarenakan ingin dilayani, budaya suap dalam proses merintis sebuah usaha pun tak dapat dielakkan. Harga pelayanan publik pun tidak sama.
Mereka yang berani memberikan upeti kepada ndoro akan mendapatkan pelayanan cepat. Sebaliknya, yang menggunakan jalur dan prosedur normal, justru mendapatkan pelayanan yang tidak sesuai harapan.
Tidak mengherankan jika muncul istilah di kalangan birokrat, "Kalau bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah. Kalau bisa diperlama mengapa harus dipercepat."
Â
Budaya Birokrasi
Itulah gambaran budaya birokrasi kita. Diakui atau tidak, kita menghadapi tantangan tidak ringan dalam membangun kemajuan ekonomi bangsa ini.
Birokrasi yang seharusnya menjadi faktor pendorong justru menghambat. Birokrasi bahkan dianggap sebagai momok yang menakutkan.
Bahkan, dalam sebuah kelakar, birokrasi tidak perlu susah-susah menjadi pendorong kesejahteraan ekonomi rakyat, yang penting tidak merecoki urusan rakyat, maka kemajuan ekonomi masyarakat akan bertumbuh sangat pesat.
Kelakar itu menunjukkan, birokrasi kita lebih berperan "menghambat" daripada "mendorong".
Sudah menjadi rahasia umum bahwa budaya birokrasi kita selalu menunda-nunda pekerjaan dan mempersulit perizinan agar mereka mendapatkan upeti (uang pelicin).
Kultur ini terus berjalan tanpa ada perubahan, karena bangsa ini kering visi dalam kepemimpinan. Pejabat dan politikusnya seolah melanggengkan budaya yang membuat mereka untung secara pribadi.
Meski birokrasi dan pelayanan publik berusaha bekerja menurut prinsip-prinsip keadilan, kenyataannya korupsi dan malapraktik yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi sering terjadi.
Meski manajemen publik tidak selalu berorientasi profit, nyatanya profit itulah yang dikejar. Ini karena organisasi publik tidak berkompetisi dengan lainnya dalam memberikan pelayanan, sehingga dia menjadi monopolistik dan kerap bertindak semaunya.
Â
Â
Advertisement
Korupsi Terlanjur Membudaya
Sejauh ini, proses pemberantasan korupsi dapat dikatakan "setengah hati". Koruptor kakap masih berkeliaran. Mereka bermain di birokrasi dan kekuasaan, merampok uang rakyat dengan berbagai cara.
Mafia-mafia ini berkeliaran mencari kesempatan dalam kesempitan. Pemberantasan korupsi belum menjadi agenda utama penataan bangsa ini ke depan. Mereka yang ditangkapi adalah para koruptor kelas teri, yang kelas kakap belum banyak tersentuh.
Bangsa ini sudah lama tak berdaya melepaskan diri dari jerat budaya korupsi. Suka tidak suka, sebagai budaya, korupsi adalah sesuatu yang melekat dalam diri bangsa ini. Bahkan seolah korupsi sudah menjadi pola kehidupan bangsa ini dan bagian tak terpisah.
Korupsi terjadi dan membentuk mentalitas.
Hal ini tidak lepas dari kultur bangsa. Begitu membudayanya dan sistematisnya korupsi, seakan telah membuat bangsa ini tak berdaya menghadapinya.
Tak lain karena bangsa ini telah lama dihidupi strategi berkehidupan yang disebut sebagai "jalan pintas".
Kultur "jalan pintas" inilah yang membuat elite politik hanya sibuk memperkaya diri dan melupakan tugas untuk menyejahterakan rakyat. Kebijakan yang dibuat hanya sekadar untuk meraih popularitas daripada secara serius bagaimana mengusahakan rakyat untuk hidup lebih mandiri.
Ada kecenderungan ironis, bahwa menjadi elite politik sekaligus melekat haknya untuk meneruskan tradisi masa lalu yang bernama korupsi. Praktik seperti inilah yang membuat bangsa ini semakin tak berdaya menghadapi kesengsaraan orang lain.
Padahal, jelas korupsi akan mengakibatkan kemiskinan, busung lapar, rendahnya mutu pendidikan, pengangguran, ketimpangan, dan kesenjangan yang merupakan deretan permasalahan bangsa yang berujung langsung dari perilaku korupsi.
Mengapa berbagai kenyataan di atas tidak membuat kita menyelesaikan akar masalahnya secara tuntas? Jika korupsi berhasil diberantas dan tumbuh budaya baru, masalah-masalah kebangsaan yang berderet itu pada saatnya juga akan ikut terselesaikan.
Apa yang dikatakan Presiden Jokowi sebenarnya sebagai peringatan, bahwa mengatasi korupsi dalam birokrasi tidak hanya sekadar lewat sebuah kebijakan politik.
Dibutuhkan sebuah alternatif lain, yakni bagaimana mencari penjelasan seterang-terangnya, kenapa korupsi itu bisa timbul? Korupsi bisa saja terjadi karena pola kehidupan yang cenderung materialistis (serakah) dan berbiaya tinggi (high cost economic).
Pola perilaku seperti inilah, yang suka tidak suka, telah menjadi bagian kultur kehidupan publik ini. Akibatnya, ruang publik tak berdaya menghadapi "monster-monster" yang begitu dominan dalam mengatur kehidupan.
Sudah banyak contoh dan dampak kebuasan korupsi yang membudaya seperti ini. Pemerintahan mendatang tidak bisa tinggal diam menyaksikan semua ini. Korupsi dalam birokrasi harus dibasmi sampai ke akar-akarnya dan menciptakan sistem serta budaya baru yang bebas dari korupsi.
Di sini pentingnya mengubah kultur birokrasi ndoro menjadi birokrasi yang melayani melalui kultur birokrasi Pancasila.
Kultur birokrasi Pancasila adalah ketika para birokrat mampu menjadikan Pancasila sebagai sumber perilaku, menjadikan birokrasi sebagai perantara keadilan, transparan dan akuntabel.
Selain itu, birokrasi Pancasila adalah birokrasi yang mengutamakan nilai kemanusiaan (mengutamakan kepentingan publik daripada kepentingan pribadi. Birokrasi yang membangun keteladanan melalui pola dan gaya hidup yang sederhana (tidak serakah).
Â