OPINI: Emotional Branding di Era Generative AI

Terlihat sederhana, namun sangat menarik, Emotional branding, jika dilakukan dengan benar, adalah pembeda antara hanya sekadar logo dan sebuah brand dengan makna.

Joe Maulana Harahap
Berdasarkan opini dari: Joe Maulana Harahap

Penulis merupakan Country Manager CleverTap Indonesia

Opini Joe Maulana Harahap, Country Manager CleverTap Indonesia
Opini Joe Maulana Harahap, Country Manager CleverTap Indonesia. (Abdillah/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta - Apple, Nike dan Starbucks. Apa yang pertama muncul dalam pikiran Anda saat membaca nama-nama tersebut atau melihat logonya? Ambisi, kegigihan, dan kenyamanan? Terlepas dari apa kata tepatnya, yang lebih penting lagi adalah ketika seseorang menemukan brand ikonik seperti itu, mereka tidak langsung memikirkan produk atau layanan terbaru dari brand tersebut.

Alih-alih, mereka memikirkan emosi yang ditimbulkan oleh brand tersebut. Menurut sebuah penelitian dari Mars, marketer hanya memiliki sekitar dua detik untuk menarik perhatian konsumen dalam ranah digital.

Kecuali seorang pelanggan sudah menjadi brand enthusiast, kemungkinan besar mereka tidak akan mengingat unique value proposition (UVP) dari sebuah produk. Dengan demikian, marketer harus memastikan bahwa kampanye pemasaran mereka tidak hanya menekankan pada UPV, namun secara cepat menarik perhatian pemirsa dengan membangkitkan emosi yang tepat. Dari sudut pandang finansial, Harvard Business Review mendapati bahwa konsumen yang terhubung secara emosional, rata-rata 52% lebih berharga bagi sebuah brand.

Untuk mencapai hal tersebut brand perlu mengacu pada karya psikolog terkenal Dr. Robert Plutchik. Pada 1980 dia mengajukan konsep wheel of emotions; di mana ada 8 emosi primer manusia. Fear, Anticipation, Joy, Trust, Sadness, Disgust, Anger, dan Surprise.

Di dalam pemasaran, anger, sadness, dan disgust bisa diabaikan. Fear adalah emosi yang menarik, yang digantikan dengan Fear of Missing out (FOMO).

Tantangan yang Terus Berkembang

Sebelum era digitalisasi, emotional branding lebih sulit karena ia sangat bergantung pada interaksi fisik dan channel komunikasi yang terbatas. Akibatnya, sulit untuk meraih dan terhubung secara emosi dengan audiens secara luas dalam cara yang terpersonalisasi dan skalabel.

Saat ini, marketer menghadapi tantangan sebaliknya – yaitu oversaturation. Dr.Gloria Mark, seorang psikolog, mempelajari interaksi manusia dengan komputer selama lebih dari dua dekade dan mengidentifikasi bahwa pada abad 21 ini, rentang perhatian pada layar adalah rata-rata 47 detik. Ini turun dari 2,5 menit pada 2004.

Artinya, waktu yang dimiliki marketer untuk menarik perhatian Anda sebelum menggeser notifikasi menjadi lebih pendek dari sebelumnya. Hasilnya, lebih banyak headline yang 'clickbait-y' – semua untuk mengejar rasio klik-tayang (clickthrough rates).

 

Memasuki Generative AI

Pertama-tama, penjelasan singkat tentang Generative AI:

"AI yang menghasilkan konten original mirip dengan data yang diciptakan manusia menggunakan algoritma dan pola yang dipelajari. Ini menciptakan data baru, gambar, atau teks, baik dibuat dari awal atau dengan melakukan modifikasi menggunakan konten yang sudah ada," menurut ChatGPT 3.0.

Generative AI bisa merevolusi pemasaran dengan memungkinkan brand menciptakan kampanye yang lebih personal dan beresonansi secara emosional. Large language models (LLMs) seperti ChatGPT mendorong batasan dalam pemasaran melebihi apapun yang ada sebelumnya. Kemampuan multimodal pada GPT-4 berarti marketer bisa memanfaatkannya tidak hanya untuk pesan teks yang lebih personal, namun untuk menciptakan aset multimedia yang disesuaikan untuk kampanye tertentu dengan memperhatikan palet, tema atau tonality.

Bagi marketer yang mencoba untuk memaksimalkan CTRs, kuncinya adalah mempublikasikan konten yang membuat pengguna merasa harus mengkliknya. Ini membutuhkan pemahaman mendalam mengenai industri di mana brand mereka beroperasi, emosi apa yang paling disukai pembaca, dan apakah tulisan/karya kreatifnya selaras dengan emosi ini.

Melacak variabel-variabel ini tidak dipungkiri sangat menyibukkan marketer. Namun memperkenalkan AI ke alur kerja tersebut akan membantu mempercepat pekerjaan tersebut.

Bagaimana Cara Kerjanya?

Dengan menggunakan LLMs, teks kampanye bisa dikonversikan menjadi representasi numerik yang mengukur hubungan antara teks dan wheel of emotions yang sebelumnya sudah dijelaskan. Bertandem dengan asisten konten yang didukung Generative AI, tulisan tersebut bisa dianalisa dan diubah untuk memasukkan beberapa emosi di dalamnya.

Sebagai contoh, data kami menemukan bahwa pesan yang didominasi oleh FOMO adalah pesan yang paling umum di industri fashion retail. Namun, pesan yang didominasi dengan Surprise mendorong CTR yang lebih tinggi hingga 10%. Berbekal insight ini, marketer fashion bisa meminta asisten konten AI mereka untuk menaikkan elemen Surprise dalam tulisan mereka demi memaksimalkan CTR kampanye tersebut.

Dengan lebih banyak kemajuan dalam bidang ini, penyesuaian seperti ini bisa dilakukan pada tingkat pengguna individu; di mana notifikasi yang Anda terima secara keseluruhan bersifat unik sehingga Anda terhubungkan secara emosi dengan kata atau frasa tertentu.

 

Masa Depan Adalah Saat Ini

Nama-nama besar seperti Adobe telah memasuki ranah ini dengan fitur-fitur terintegrasi seperti Generative AI Fill— memungkinkan pengguna memilih di sekitar area yang diinginkan dan mengetik revisi yang sesuai ke dalam textbox. Mesin kreatif Firefly kemudian masuk dan mengedit bagian ini sesuai dengan perintah dan konteks yang lebih luas yang bisa dikumpulkannya.

Tidak hanya ini, mesin kreatif Firefly juga mampu membuat gambar yang jelas dari perintah teks yang abstrak. Dengan demikian, menurunkan standar teknis yang diperlukan untuk menceritakan kisah-kisah yang menarik secara emosional.

Beberapa tahun lalu, ini seperti angan-angan. Namun, hal tersebut telah terwujud jauh lebih cepat dari yang diantisipasi. Mengadopsi Generative AI sebagai 'next big thing' di MarTech akan menaikkan status marketer dari yang lain – membawa mereka ke status '10x marketer'. 

Dengan memahami dan memanfaatkan cara kerja Generative AI, mereka akan membuka dunia baru yang penuh dengan berbagai kemungkinan. Teka-teki MarTech kuno seperti penskalaan konten yang sangat dipersonalisasi akan berpotensi dipecahkan oleh mereka yang berhasil mengintegrasikan AI Generatif ke dalam alur kerja yang beragam dan bahkan mengalami siloed.

Dengan adanya Generative AI, para marketer ini akan mengangkat brand ke level yang lebih tinggi, dan membentuk masa depan pemasaran. Sekaranglah saatnya untuk menggunakan Generative AI, dan mereka yang tidak melakukannya, berisiko tertinggal di tengah revolusi marketing excellence.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini
oleh Raden Trimutia Hatta diperbarui 22 Apr 2024, 13:47 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2024, 13:46 WIB

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya