Yusril Samakan Larangan Makan Babi dengan Cuti Kampanye Ahok

Yusril Ihza Mahendra 'bertarung' dengan Ahok dalam sidang di Mahkamah Konstitusi.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 15 Sep 2016, 15:35 WIB
Diterbitkan 15 Sep 2016, 15:35 WIB
20160915-Sidang Lanjutan Uji Materiil UU Pilkada-Jakarta
Pakar hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra menyampaikan paparan saat sidang lanjutan uji materiil UU Pilkada terkait cuti masa kampanye di Jakarta, Kamis (15/9). Sidang dihadiri Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Yusril Ihza Mahendra 'bertarung' dengan Ahok dalam sidang di Mahkamah Konstitusi. Yusril dihadirkan hakim konstitusi sebagai ahli untuk membatalkan permohonan Ahok terkait uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada.

Dia menilai, gugatan Ahok terkait Pasal 70 ayat 3 huruf a tentang cuti kampanye petahana, tak perlu ditafsirkan lagi. Kata 'harus' dalam pasal tersebut menurut Yusril sudah sangat jelas.

Pasal 70 ayat 3 huruf a, berbunyi; Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan: a. menjalani cuti di luar tanggungan negara.

"Pada hemat saya, undang-undang yang dimohonkan, tidaklah perlu penafsiran. Karena bunyinya sangat jelas. Di mana Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, dan Wali Kota/Wakil Wali Kota, yang mencalonkan kembali pada daerag yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan, harus menjalani cuti di luar tanggungan negara," ucap Yusril di persidangan MK, Jakarta, Kamis (15/9/2016).

Dia menjelaskan, kata 'harus' dalam hukum Fiqih berbeda dengan perumusan hukum Indonesia. Menurutnya, kata tersebut bermakna wajib.

"Kata harus dalam kalimat tersebut, berbeda dalam hukum Fiqih, yang dalam bahasa Arab bermakna netral. Jika dikerjakan mendapat pahala, jika tidak, tidak mendapatkan dosa. Dalam perumusan hukum Indonesia, kata harus adalah kata yang sama dengan artinya kata wajib. Dimana, dalam hukum Fiqih, wajib artinya suruhan mendapat pahala jika dikerjakan. Tidak dikerjakan akan mendapat dosa. Harus dan wajib, dalam norma (pasal tersebut) bersifat imperatif, yakni sesuatu yang harus dikerjakan. jika tidak dikerjakan, akan melanggar sanksi," jelas Yusril.

Dia pun menyadari dalam pasal tersebut tidak disebutkan adanya pemberian sanksi jika petahana melanggar ketentuan tersebut. Meski demikian, hal itu tak menghalangi untuk diberikan hukuman.

"Undang-Undang bisa saja tidak menyebut sanksi apapun kepada petahana yang melanggar. Namun, pejabat atau aparat, menimbang-nimbang sanksi apa yang diberikan. (Misalnya) dalam hal ini, KPU dapat saja menerbitkan peraturan pelaksana, bahwasanya, jika petahana tidak bersedia melakukan cuti, maka calon petahana itu, tidak memenuhi syarat jadi peserta dalam Pilkada," terang Yusril.

Untuk menguatkan pernyataan itu, dia pun menggunakan istilah atau terminologi dalam hukum Fiqih, yang terkandung dalam Alquran. Yakni ada norma yang melarang bagi yang meminum alkohol, main judi, dan memakan daging babi.

"Dalam Alquran, ada norma yang mengatakan bahwa diharamkan meminum alkohol, main judi, dan memakan daging babi. tapi jika ada yang melakukannya, tidak ada sanksi yang disebutkan dalam Alquran. Maka, kalau tidak ada Hadist yang memberikan sanksinya, maka hakimlah yang berijtihad, untuk memberikan hukuman apa yang pantas, kepada orang yang terbukti. Putusan hakim ini menjadi yurisprudensi dalam hukum Islam," Yusril memungkas.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya