HEADLINE: Manuver AHY Dekati JK, Jokowi dan Prabowo, Mana Paling Berpeluang?

Nama AHY kerap dikaitkan dengan posisi cawapres untuk Jokowi, Prabowo, bahkan JK. Siapa akhirnya yang meminang putra sulung SBY itu?

oleh RinaldoIka DefiantiYunizafira Putri Arifin Widjaja diperbarui 10 Jul 2018, 00:08 WIB
Diterbitkan 10 Jul 2018, 00:08 WIB
Pake Seragam Demokrat, SBY Kukuhkan Agus Yudhoyono sebegai Kogasma
Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Agus Harimurti Yudhoyono memberikan pidato usai pengukuhan oleh Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono untuk Pemilukada 2018 dan Pilpres 2019. Sabtu (17/2). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Partai Demokrat terus berupaya menciptakan panggung bagi Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) jelang Pilpres 2019. Setelah memunculkan wacana JK-AHY, lengkap dengan poster yang beredar di mana-mana, kini partai besutan Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa AHY akan bersanding dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto di pilpres tahun depan.

"Beliau (Prabowo) memiliki pandangan kalau Beliau bisa berpasangan dengan AHY, maka insyaallah Indonesia akan lebih baik ke depan, dan tentunya diharapkan akan bisa memenangi Pilpres 2019," ungkap Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Syarief Hasan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (9/7/2018).

Menurutnya, hal itu dipastikan setelah dirinya menyambangi rumah Prabowo Subianto di Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Kamis 5 Juli pekan lalu. Saat itulah konon Prabowo menawarkan wacana Prabowo-AHY.

"Di situ Pak Prabowo dengan tegas mengatakan siap untuk berkoalisi dengan Partai Demokrat dan siap menerima AHY sebagai calon wakil presiden, saya pikir begitu," tegas Syarief.

Keinginan Prabowo itu, lanjut dia, direspons SBY dengan baik. Langkah selanjutnya, Demokrat akan melakukan evaluasi internal partai dan menunggu keputusan Majelis Tinggi Partai menindaklanjuti Kongres Demokrat di Lombok tahun 2017.

"Sudah menjadi keputusan dari Demokrat, bahwa apa pun koalisinya, AHY harus sebagai capres atau cawapres," ujar Syarief.

Kuat dugaan, cepatnya Partai Demokrat mencari pasangan baru untuk AHY lantaran wacana duet sebelumnya, JK-AHY meredup sebelum waktunya. Namun, spekulasi itu dibantah Kepala Divisi Advokasi dan Bantuan Hukum Partai Demokrat Ferdinand Hutahaean.

"Bahasanya bukan meredup ya, tetapi kita harus memaklumi dan menerima sikap Pak JK yang sudah menyampaikan bahwa Beliau tidak ingin lagi bertarung dalam kontestasi pilpres dan ingin mendorong yang lebih muda untuk maju," ujar Ferdinand kepada Liputan6.com, Senin petang.

Dia mengatakan, sudah menjadi keputusan Partai Demokrat untuk mengusung AHY sebagai capres atau cawapres di Pilpres 2019. Dengan alasan itu, ketika duet JK-AHY tak bisa lagi dilanjutkan, pihaknya mencari kemungkinan lain.

"Karena wacana JK-AHY saat ini tidak berkembang jadi kita hentikan untuk membangun gerak politik ke depan," tegas Ferdinand.

Untuk menemukan pendamping AHY, dia mengakui sepekan terakhir Partai Demokrat berusaha menjalin komunikasi dengan dua arus koalisi besar, yaitu Joko Widodo dan Prabowo. Namun, sinyal positif hanya didapat dari kubu Prabowo.

"Di minggu-minggu terakhir ini PD memang banyak melakukan komunikasi politik, termasuk dengan Pak Prabowo. Dengan Pak Jokowi sendiri kita lakukan komunikasi politik melalui pihak pihak ketiga, karena ada hambatan komunikasi yang memang akhir-akhir ini terjadi," tutur Ferdinand.

 

Infografis peluang AHY di Pilpres 2019
Infografis peluang AHY di Pilpres 2019 (Liputan6.com/Abdillah)

Dia mengatakan, saat bertemu dengan Prabowo pihaknya merasa sangat nyaman lantaran seluruh persyaratan koalisi yang ditetapkan Partai Demokrat bisa dipenuhi. Lain halnya dengan koalisi Jokowi.

"Pertama adalah terkait posisi capres dan cawapres yang harus dibahas secara bersama-sama. Kedua, koalisi ini harus setara dan sederajat. Ketiga, terkait visi misi harus bersama-sama. Dalam tiga syarat utama yang kita tetapkan, di koalisi Pak Jokowi sepertinya tidak kami dapatkan," jelas Ferdinand.

Ketidakcocokan itu, menurut dia bisa dilihat dari proses pembahasan cawapres yang didominasi dan ditentukan oleh Jokowi bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Ditambah lagi Jokowi menegaskan sudah mengantongi nama cawapresnya di Pilpres 2019.

"Jadi posisi Bu Mega di sana sangat dominan sekali, sehingga kalau Pak SBY masuk koalisi di sana, apakah akan ada kesetaraan? Ini hambatan terbesar untuk bergabung dengan koalisi Pak Jokowi," papar Ferdinand.

Dengan semua alasan itu, Demokrat menilai pintu untuk berkoalisi dengan kubu Jokowi sudah tertutup.

"Bukan Partai Demokrat yang tidak mau, tetapi Pak Jokowi telah menutup pintu koalisi dengan kami, karena syarat yang pernah kita ajukan sama sekali tidak digubris," tambah Ferdinand.

Hal itu jauh berbeda saat Demokrat menjalin komunikasi dengan kubu Prabowo, ketiga syarat itu bisa dirembukkan. Baik soal posisi cawapres serta visi dan misi bisa dibahas bersama-sama.

"Ada mutual respect, kesetaraan, kesederajatan dalam kolalisi. Makanya sekarang ini kami akan menindaklanjuti komunikasi politik dengan Gerindra, karena inilah yang paling nyaman untuk Demokrat berkoalisi," ujar Ferdinand.

Namun, apakah duet Prabowo-AHY punya nilai jual yang kuat untuk pemilih? Bagaimana pula jika AHY menjadi cawapres Jokowi?

 

Saksikan video terkait manuver AHY di bawah ini:

Bersaing dengan Anies

Prabowo Subianto dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY)
Prabowo Subianto dan Agus Harimurti Yudhoyono atau AHY. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Sebulan sebelum pendaftaran capres-cawapres untuk Pilpres 2019, Partai Demokrat menggencarkan komunikasi ke semua penjuru. Selain kepada dua kubu koalisi, Wakil Presiden Jusuf Kalla tak luput didekati. Nama Agus Harimurti Yudhoyono pun dimunculkan untuk menjadi cawapres bagi Prabowo Subianto, Joko Widodo, dan JK.

Namun, peluang untuk bisa mewujudkan pasangan ideal di Pilpres 2019 tak semuanya mulus bagi AHY. Banyak hitung-hitungan politik yang harus diperhitungkan. Termasuk soal memasangkan JK dengan AHY.

"JK tidak lagi berminat untuk ikut kompetisi sebagai calon presiden. Jadi, kecil kemungkinan ajakan AHY bisa diterima JK. Kalaupun JK merespons Demokrat, konteksnya bukan kerja sama JK-AHY, tetapi koalisi mendorong tokoh yang diusung JK," ujar Direktur Program Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) Sirojudin Abbas kepada Liputan6.com, Senin (9/7/2018).

Hal itu berbeda jika AHY menjadi cawapres Prabowo yang peluangnya dinilai lebih baik. Namun, AHY harus siap bersaing dengan nama-nama lainnya yang digadang-gadang menjadi cawapres Prabowo.

"Peluang AHY dipinang Prabowo sedikit lebih baik. Tetapi dia juga harus ditimbang dibanding tokoh-tokoh muda potensial lain. Salah satunya Anies Baswedan. Anies bisa jadi merupakan tokoh alternatif yang akan mendapat sokongan JK," papar Sirojudin.

Lain halnya dengan duet Jokowi-AHY yang menurutnya akan sulit terwujud, karena dianggap terlalu banyak hambatan dari kubu koalisi yang sudah lebih dulu terjalin.

"Sangat kecil peluang AHY dipilih jadi wakil presiden Jokowi. PDIP dan koalisi yang ada tidak akan setuju.

Dengan Prabowo masih lebih mungkin. Tapi, jika Pak JK mengajukan nama wakil presiden juga ke Prabowo, peluang AHY jadi wakil Prabowo menjadi lebih kecil. Tapi tetap lebih terbuka gabung ke Prabowo," pungkas Sirojudin.

Pendapat berbeda disampaikan pengamat politik yang juga Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting Pangi Syarwi Chaniago. Menurut dia, peluang AHY untuk bisa mendampingi Jokowi dan Prabowo sama kuat lantaran potensi yang dimiliki Komandan Satuan Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat tersebut.

"AHY punya banyak kelebihan. Pertama sudah punya basis dukungan yang konkret, seperti mesin Partai Demokrat," ujar Pangi kepada Liputan6.com, Senin petang.

Namun, tetap saja kans untuk berdampingan dengan Prabowo lebih besar. Alasannya, Prabowo-AHY lebih punya modal elektoral yang cukup, sama-sama punya mesin parpol. Selain itu, ceruk segmen pemilih Prabowo berbeda dengan ceruk segmen AHY.

"Kalau soal militer berpasangan dengan militer itu saya pikir nggak jadi problem. Toh Prabowo maupun AHY sudah menjadi masyarakat sipil alias purnawirawan. Kecuali tentara aktif, beda cerita," tegas Pangi.

Menurut dia, soal militer atau tidak saat ini tak menarik dan produktif untuk diperdebatkan. Sama dengan tak ada yang meributkan sipil berpasangan dengan sipil. Yang jelas, AHY punya banyak kelebihan yang bisa meningkatkan perolehan suara pasangannya.

"Pertama, AHY dianggap mewakili kaum milenial yang 40% adalah pemilih. Jadi AHY bisa sebagai representasi kaum milenial muda dan tua. AHY bisa masuk ke dunia mereka, apa yang menjadi hobi dan kesenangan kelompok milenial. AHY bisa cair dengan komunitas anak muda di seluruh Indonesia," papar Pangi.

Kedua, lanjut dia, AHY juga dianggap mewakili SBY dan Demokrat. Pengalaman AHY langsung belajar dari SBY sebagai mentor akan sangat membantu AHY sebagai politikus.

"Ketiga, AHY juga memberikan diferensiasi dengan calon pemimpin muda lainnya karena latar belakang pendidikan akademik yang cukup cemerlang dan latar belakang profesinya di militer yang cukup keren," jelas Pangi.

Namun, dia tak yakin Partai Demokrat akan bersikap netral dalam Pilpres 2019, mengingat penetapan AHY sebagai capres atau cawapres sudah menjadi harga mati partai.

"Netral itu selama ini apa untungnya bagi Demokrat ketika tak mendukung Prabowo maupun Jokowi? Demokrat dapat apa? Saya pikir Demokrat akan bergabung ke koalisi Prabowo kalau gagal membangun konstruksi koalisi poros tengah atau alternatif," jelas Pangi.

Di sisi lain, dia melihat Partai Demokrat masih punya posisi tawar yang cukup tinggi untuk membangun koalisi ketiga di luar Jokowi dan Prabowo. Dengan catatan, partai yang diajak bergabung harus bisa dipastikan mendapat keuntungan yang layak.

"PKB serta PAN, misalnya, mesti dipastikan mendapat keuntungan bagi kemajuan partai mereka. Ketika bergabung pada koalisi rakyat yang diinisiasi Partai Demokrat mereka dapat apa? Kalau nggak posisi capres maupun cawapres, maka harus konkret iming-iming lainnya," ujar Pangi.

Menurut dia, tak perlu sungkan membahas untung rugi dan kepentingan dalam berkoalisi, karena itu hal yang lumrah dalam dunia politik. Bahkan, kepentingan rakyat kadang berada di belakang kepentingan partai.

"Dalam politik nggak ada dukungan tanpa syarat. Peta koalisi bicara apa, dapat apa, kepentingan apa, siapa dan di mana. Oleh karena itu bicara koalisi bicara persekongkolan dan kepentingan pragmatis parpol, baru bicara kepentingan rakyat. Itu realitas politik kita, suka atau tidak," pungkas Pagi.

 

Politik Banyak Kaki Ala AHY

Agus Yudhoyono menemui Wapres JK
Agus Yudhoyono menemui Wapres Jusuf Kalla (foto: istimewa)

Dengan usianya yang masih muda untuk ukuran politikus, Agus Harimurti Yudhoyono wajar bergerak lincah di panggung politik Tanah Air. Apalagi jelang Pilpres 2019, pria kelahiran 10 Agustus 1978 ini terus bertandang bertemu petinggi partai politik dan pejabat negara.

Terhitung, sepanjang isu Pilpres 2019 mengemuka, putra sulung Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ini sudah bertemu dengan Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Menko Polhukam Wiranto, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, dan Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Sandiaga Uno.

Tak heran, banyaknya pembicaraan seputar pertemuan mantan perwira TNI yang karib disapa AHY membuat namanya selalu muncul di pemberitaan media massa. Karena itu, Partai Demokrat tempat AHY menyandang posisi sebagai Ketua Komando Tugas Bersama (Kogasma) Partai Demokrat, berani memunculkan wacana duet JK-AHY.

Sejak awal Juli lalu, beredar gambar poster duet Jusuf Kalla (JK) dan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang dikaitkan dengan isu Pilpres 2019. Gambar ini diedarkan elite Partai Demokrat. Kemunculan poster itu dikaitkan dengan silaturahmi JK ke kediaman SBY. Muncul spekulasi silaturahmi itu bagian dari agenda politik.

Ketua Divisi Komunikasi Publik DPP Demokrat Imelda Sari menjelaskan, wacana duet JK-AHY telah lama didengungkan kader Demokrat. Pada akhir Juni lalu ada pertemuan kader Demokrat dan dilakukan polling para pengurus inti. Hasil polling menunjukkan jika ada tiga koalisi, mereka memilih bergabung dengan koalisi ketiga atau poros ketiga.

"Ada poling kecil yang dilakukan oleh para pengurus, di situ hampir 90 persen dari pengurus inti, kemudian menyatakan jika ada tiga koalisi, maka pilihan ketiga dipilih. Dari 90 persen itu menuliskan nama JK-AHY," ucap Imelda dalam sebuah diskusi yang diadakan oleh Voxpol Center, di Jakarta, Selasa 3 Juli 2018.

Dia menuturkan, alasan memasukkan nama JK, karena melihat kinerja yang baik saat bersama Susilo Bambang Yudhoyono di tahun 2004, dan di periode 2014 bersama Jokowi.

"Ada satu sosok yang pernah bersama-sama dengan Pak SBY, pernah bersama mengatasi konflik di tahun 2003, 2004, bersama-sama rekonsiliasi Aceh, membantu Pak SBY di tahun 2004 sampai 2009, kemudian saat ini dengan Jokowi," kata Imelda.

Karena itu, lanjut dia, sangat pas jika JK disandingkan dengan AHY, yang bisa menarik suara kaum milenial dan memiliki hasil survei yang baik.

"Sangat bertalenta. Mas Agus sendiri baik di bidang militer, administrasi, dan membantu ekonomi kreatif, (menarik) kaum milenial di Indonesia dan hasil survei calon wakil presiden, Mas Agus yang tertinggi di hampir seluruh survei," pungkas Imelda.

Namun, wacana tersebut agaknya harus layu sebelum berkembang. Sebab, JK berulang kali menegaskan sikapnya terkait Pilpres 2019. Dia juga enggan menanggapi wacana pengusungan dirinya bersama AHY yang santer lewat poster JK-AHY. Dia malah menegaskan tetap mendukung Presiden Joko Widodo.

"Yang pasti dukung Pak Jokowi," ujar JK di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa 3 Juli 2018.

Hal itu kembali ditegaskan Ketua Dewan Penasihat Wakil Presiden Jusuf Kalla, Sofjan Wanandi. Dia mengatakan, JK sudah menyampaikan langsung penolakan itu kepada Partai Demokrat.

"Tidak, dia sudah tolak, dia enggak mau, sudah kasih tahu ke Demokrat dia tidak lagi," kata Sofjan di Kantor Wakil Presiden, Jalan Merdeka Utara, Rabu 4 Juli 2018.

Mantan Ketua Umum Partai Golkar itu tidak melarang Partai Demokrat melakukan manuver menjodohkannya dengan AHY. Namun, kata Sofjan, JK tegas menolak.

"Ya manuver-manuver itu dia punya hak kan, kita tidak bisa bilang apa-apa, sudah kita kasih tahu juga Pak JK sudah kasih tahu langsung," jelas Sofjan.

Dia menjelaskan alasan JK tidak mau maju di Pilpres lantaran ingin menikmati masa tua. JK juga sudah menyatakan dukungannya kepada Joko Widodo untuk kembali maju di Pilpres 2019.

"Dia mau pensiun aja. Dia bilang, pasti bantu Pak Jokowi lah jadi apapun dia enggak peduli," kata Sofjan.

Penolakan itu membuat Partai Demokrat harus membuka wacana baru untuk tetap menjaga nama AHY tetap ada di radar Pilpres 2019. AHY pun menjelaskan Demokrat akan mencari nama alternatif setelah ditolak oleh JK.

"Ya, saya pikir sudah banyak yang beredar lah. Dengan banyak tokoh yang lainnya. Saya hanya melihat bahwa masyakat kita juga mengharapkan hadirnya alternatif. Alternatif itu artinya wajah baru dalam politik nasional," kata AHY di JCC Senayan, Jakarta Pusat, Minggu 8 Juli 2018.

Harapan itu terkabul. Akhir pekan lalu Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto mengatakan tengah melirik sosok calon wakil presiden dari kalangan muda. Ada beberapa nama yang masuk bidikan. Di antaranya AHY dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Sandiaga Uno.

"Saya mengatakan kita pun melirik Saudara AHY," kata Prabowo di rumahnya, Jalan Kertanegara, Jakarta Selatan, Jumat 6 Juli 2018.

AHY pun menanggapi positif paparan Prabowo yang melirik dirinya sebagai calon wakil presiden di pilpres mendatang.

"Ya saya pikir Pak Prabowo juga atau siapa pun bisa menyampaikan serupa. Semua peluang kita olah dan kita diskusikan," Kata AHY di JCC, Senayan, Jakarta Pusat, Minggu 8 Juli 2018.

Dia menjelaskan peluangnya untuk berpasangan dengan siapapun masih terbuka lebar. Begitu pun bersama dengan Jokowi. "Begitu juga dengan yang lainnya," lanjut AHY.

Dia pun mengakui, sampai saat ini belum menentukan rencana di Pilpres 2019. Menurut AHY, keputusan akhir akan diumumkan sebelum pendaftaran pada 4-10 Agustus 2019.

Lantas, dengan siapa akhirnya AHY akan berpasangan di Pilpres 2019? Atau nama AHY sama sekali tenggelam dan tak masuk dalam kontestasi lima tahunan itu? Menarik untuk menunggu manuver AHY dan Partai Demokrat selanjutnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya