Liputan6.com, Jakarta - Bisnis properti di Pulau Batam, Kepulauan Riau, masih menghadapi banyak kendala. Akibatnya, pasar properti di wilayah Indonesia yang bertetangga dengan Singapura itu kalah bersaing dengan wilayah negara lain di sekitarnya yang sedang gencar memacu pembangunan properti seperti Singapura dan Johor (Malaysia).
Djaja Roeslim, Ketua Realestat Indonesia (REI) Khusus Batam mengungkapkan hambatan utama yang masih dihadapi dalam pengembangan properti di pulau tersebut adalah mengenai status lahan. Sebagian besar lahan di Batam memang masuk dalam kawasan hutan lindung.Kondisi itu membuat terbatasnya lahan-lahan untuk pengembangan seperti permukiman, perkantoran, pusat ritel dan perkantoran.
"Banyak hambatan yang membuat daya saing Batam di sektor properti jauh di bawah Johor misalnya, apalagi Singapura. Hambatan itu sudah berlangsung cukup lama dan tidak juga mampu diselesaikan," kata Djaja yang dihubungi Liputan6.com, Senin (15/06/2015).
Mengenai kasus status lahan, ungkap dia, sebenarnya sudah ada penyelesaian sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Kehutanan (Menhut) Nomor 76 tahun 2015, namun sampai saat ini belum ada petanya sehingga masih belum jelas berapa luas yang sudah bebas dari status hutan lindung, dan lokasinya dimana saja. Tapi yang pasti belum semua lahan di Batam bebas dari status kawasan hutan lindung.
Lahan pengembangan properti di Pulau Batam semakin menyempit pasca keluarnya SK Menhut Nomor 463/Menhut-II/2013 yang mengubah sebagian besar wilayah Kota Batam menjadi hutan lindung.
Berdasarkan data REI Batam, sedikitnya ada 1.830 hektare lahan yang tidak bisa dikeluarkan sertifikatnya oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) sejak Juni 2013 karena masuk dalam kawasan hutan lindung berdasarkan SK Menhut tersebut. Jumlah itu belum termasuk 12 ribu hektare lahan lainnya yang terhambat mendapatkan sertifikat dengan alasan yang sama sebelum SK Menhut tahun 2013 itu diterbitkan.
"Selain soal hutan lindung, pengembang di sini juga masih menghadapi kendala terkait HPL (Hak Pengelolaan Lahan). Saat ini masih banyak lahan yang belum ada HPL-nya," kata Djaja.
Kendala HPL ini disebabkan adanya dualisme otoritas pemberi izin tanah di Batam yakni Otoritas Batam (OB) dan Pemerintah Kota (Pemkot) Batam.
Demikian juga dengan waktu pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang kini makin lama. Bahkan kini pengembang dituntut mengurus pula izin Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Lalu Lintas (Amdal Lalin) yang menambah panjang proses dan waktu perizinan.
Menurut Djaja, pihaknya dari asosiasi telah melakukan pendekatan berulang kali dengan instansi terkait untuk menyelesaikan kendala-kendala tersebut, namun belum ada titik temu yang memadai. Dia berharap situasi ini tidak berlarut-larut terjadi, karena akan semakin memperlemah daya saing Batam di industri properti.
Di Johor, menurut Djaja, saat ini pengembang diberi keleluasaan dan kemudahan regulasi untuk membangun berbagai proyek properti dari mulai permukiman, komersial hingga daerah industri yang mayoritas dibeli warga Singapura. Seperti diketahui, negara bagian Malaysia itu telah memiliki aturan mengenai kepemilikan properti bagi warga asing (foreign ownership).
"Padahal Batam punya potensi untuk ikut bersaing, namun tentu kurang menarik bagi investor kalau kendala internal saja kita tidak bisa selesaikan," keluh Djaja.
Di kuartal I 2015, penjualan properti di Batam diakui Djaja anjlok hingga 20 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan penjualan terutama dialami proyek kelas menengah baik perumahan maupun komersial.
"Di semester II kami prediksi pasar properti di Batam masih akan lesu, kecuali ada angin segar dari regulasi yang dikeluarkan pemerintah," tutur dia.
Reporter: Muhammad Rinaldi
(Rinaldi/Ndw)