Liputan6.com, Denpasar - Wawan (50), lelaki asal Probolinggo, Jawa Timur, hanya bisa mengerutkan dahi dan terduduk lesu di halte bus dekat Taman Makam Pahlawan, Jembrana. Tatapannya hanya memandangi kendaraan lalu-lalang di jalur Denpasar-Gilimanuk.
Penjual terompet musiman itu berharap dari sekian ratus kendaraan yang melintas di hadapannya, ada 1 yang berhenti untuk membeli terompet yang dijajakan.
"Kemarin saya berjualan di sini dari pagi hari. Tapi, sampai sore begini satupun belum ada yang laku. Padahal, malam tahun baru tinggal 2 hari lagi,” ujar dia lirih kepada Liputan6.com di Denpasar, Selasa (29/12/2015).
Ia menyebut kemarin merupakan hari pertamanya berjualan terompet. Dalam 2 hari ini, ia hanya mampu meraup Rp 50 ribu saja.
Padahal, harga terompet yang ditawarkannya relatif terjangkau yaitu Rp 5 ribu per buah. Bentuk terompet yang dijajakannya pun variatif, tidak hanya corong kerucut standar saja.
Wawan mengeluhkan, "Untuk makan sehari jelas tidak cukup. Belum lagi untuk bayar kontrakan."
Hasil penjualan yang didapatnya itu jelas jauh dari kata untung. Dia mengaku telah mengeluarkan modal lebih dari Rp 4 juta untuk membeli 2.000 buah terompet. Jumlah yang sama dengan jumlah terompet yang dijualnya setahun sebelumnya.
"Kalau tahun lalu, dari 2000 terompet yang saya siapkan memang tidak semuanya habis terjual. Tapi saya masih bisa dapat untung. Sekarang, kalau sepi begini, pasti saya rugi," tutur dia.
Wawan menyalahkan sepinya penjualan terompet tahun baru itu lantaran pedagang kembang api dan petasan dibebaskan untuk berjualan. Padahal sebelumnya, aktivitas mereka dibatasi bahkan dilarang berjualan oleh polisi.
"Karena banyak penjual kembang api dan petasan, terompet jadi tidak laku. Anak-anak lebih suka dengan kembang api dibandingkan terompet," ucap Wawan.