Bakti Mama Mega Dampingi Pasien TBC Asal Kampung Hobong Papua

Perempuan pendamping itu mengeluarkan uang dari koceknya sendiri selama mendampingi pasien TBC.

oleh Katharina Janur diperbarui 22 Apr 2016, 16:45 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2016, 16:45 WIB
Mama Mega pendamping Pasien TBC
Mama Mega (berbaju kuning) mendampingi pasien TBC.

Liputan6.com, Jayapura - Namanya Magdalena Mega Taime (64). Perempuan beranak sembilan dan sembilan cucu itu gampang terusik jika mendengar seseorang terserang batuk. Ia akan langsung bertanya dan jika mungkin membawa si pasien ke puskesmas terdekat.

"Mau ada orang batuk itu di pasar, di gereja atau di mana saja, tetap saya akan dekati dan bertanya berapa lama sudah terserang batuk," kata Mama Mega, sapaan akrab Magdalena, saat ditemui Liputan6.com, Kamis, 21 April 2016.
 
Mama Mega memang gencar menyosialisasikan bahaya penyakit TBC dari kampung ke kampung di pinggiran Danau Sentani. Jika pasien yang dibawanya ke puskesmas dinyatakan terkena penyakit TBC, ia akan mendampingi pasien hingga sembuh.

"Obat si penderita TBC ini akan saya simpan dan saya akan memberikannya setiap hari. Sebab, pasien TBC itu tak boleh putus dalam mengonsumsi obat," kata Mama Mega yang masih gesit ini.

Perempuan yang menjanda sejak 1979 itu tak pernah lelah dalam mendampingi pasien TBC. Sejak lima tahun lalu, ia mengabdikan diri menjadi kader puskesmas, khususnya bagi penderita TBC.


Keinginannya membantu karena ia pernah menjadi pasien TB paru pada 2001 lalu. Batuk yang dideritanya terbilang parah karena dahaknya mengeluarkan darah. Mama Mega lantas mengonsumsi obat TBC selama sembilan bulan.

"Saya telah berjanji kepada diri saya sendiri dan Tuhan. Jika saya sembuh, saya akan mengabdikan seluruh hidup ini untuk penderita TB," ujar dia.  

Setiap hari dan di mana saja, Mama Mega tak lelah mencari penderita TBC. Keinginannya hanya satu, penderita TBC di Papua secara bertahap akan turun.  

Saat mendampingi pasien TBC itu, Mama Mega tak mendapatkan upah apa pun, baik dari pemerintah maupun dari penderita TBC.

"Jika saya membawa pasien untuk berobat, ongkos yang harus saya keluarkan dari uang saya sendiri. Kadang kala petugas di puskesmas memberikan saya ongkos angkutan umum untuk pulang Rp 20 ribu. Saya ikhlas mengerjakan aktivitas ini," ucap dia.

Salah satu warga Kampung Hobong, Manase Monim (58), mengaku perjuangan Mama Mega untuk membasmi TBC di lingkungan sekitarnya tanpa pamrih.

Ia bak tak mengenal waktu baik siang ataupun malam. Jika ada seseorang yang membutuhkan pendampingan dan bertanya tentang TBC, dia akan langsung menyanggupinya.

"Pernah satu malam ada telepon dari kampung seberang dan meminta Mama Mega untuk membantu ke rumah sakit dan Mama langsung pergi menemui pasien itu. Kebetulan, perahu katinting (perahu kecil) ini sering mengantarkan Mama Mega untuk mengunjungi pasiennya," kata Manase sambil menunjukkan perahu kecilnya.

Merambah ke Lingkungan

Masyarakat di Kampung Hobong mengenal Mama Mega dengan sosok yang ringan tangan membantu orang sakit dan sering memberikan penyuluhan untuk hidup sehat.

Seluruh biaya untuk memberikan penyuluhan dari kampung ke kampung dihasilkan dari berjualan kue dan pinang. Mama Mega setiap harinya berjualan kue di Dermaga Kampung Hobong, tepatnya di depan SD Negeri Inpres Siboi-Boi dan SMP Swadaya Hobong milik Yayasan Pendidikan Buyakha Faa.

"Setiap hari Mama bisa menghasilkan Rp 80 ribu. Lalu, Rp 25 ribu disisihkan untuk ditabung dan sisanya untuk keperluan sehari-hari," tutur Mama Mega.

Tak hanya mendampingi pasien TBC, Mama Mega juga rutin mengembangkan taman gizi keluarga dan pemanfaatan plastik untuk didaur ulang. Kegiatan itu dikerjakan bersama 50-an perempuan Hobong lainnya di bawah binaan Dorlince Mehue, tokoh perempuan setempat.

Mama Mega ikut aktif dalam kegiatan peduli lingkungan. (Liputan6.com/Katharina Janur)

Setiap rumah di kampung itu wajib menanami taman gizi keluarga yang berisi segala jenis sayuran untuk disantap setiap harinya.

"Tanaman ini bebas pupuk dan pestisida. Jika ada keluarga yang tak memiliki tanaman ini di depan rumahnya, maka kami akan memberikan bibit dan mengharuskan keluarga itu untuk menanamnya, guna keperluan harian keluarga mereka," kata Mama Mega.

Kemudian, kegiatan daur ulang plastik selalu dilakukan di sekitar dermaga setelah para ibu menyelesaikan tugas rumah tangga mereka. Perempuan Hobong kemudian berkumpul untuk menggunting plastik-plastik bekas bungkus kue, gula-gula, mi instan, dan deterjen yang dijadikan bantal sofa.

"Kami menjual satu buah bantal sofa Rp 50 ribu. Warga Kampung Hobong sudah sadar akan pemanfaatan kemasan plastik, sehingga di Kampung Hobong tidak akan ditemukan satu lembar pun plastik. Jangan heran jika kampung kami bersih," kata Merry, salah seorang warga.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya