Kisah Raden Ajeng Kartini Tergetar oleh Al Fatihah

Kegelisahan Kartini membawa babak baru pada perkembangan Islam di Tanah Air. Dia yang memicu dimulainya penerjemahan Alquran di Nusantara.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 27 Jan 2021, 12:51 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2016, 19:20 WIB
Kartini, Al Fatihah
Kegelisahan Kartini membawa babak baru pada perkembangan Islam di Tanah Air. Dia yang memicu dimulainya penerjemahan Alquran di Nusantara.

Liputan6.com, Semarang - Pada zaman dahulu kala, Alquran yang beredar di Tanah Air tak diterjemahkan secara massal seperti sekarang ini. Karena itu, tak semua paham makna ayat-ayat dalam kitab suci umat Islam tersebut.Hal ini pun menimbulkan kegelisahan di batin seorang perempuan priyayi Jawa, Raden Ajeng (RA) Kartini yang penasaran tentang isi ayat-ayat Alquran, termasuk Al Fatihah. Kartini memang dikenal kritis dan memiliki rasa ingin tahu yang besar.Dia dilahirkan di keluarga ningrat yang memegang kukuh tata nilai adat Jawa. Sang ayah, RM Sosroningrat, adalah Bupati Jepara yang terhormat. Sementara ibunya, Ngasirah, berasal dari masyarakat biasa.Dalam tata nilai adat Jawa, rasa penasaran perempuan yang kini bergelar pahlawan nasional itu bukanlah hal lumrah. Terlebih lagi dia seorang perempuan.  Kartini makin gelisah lantaran para ulama pada zamannya melarang umat Islam untuk mendiskusikan perkara agama dengan non-muslim. Maka yang bisa dilakukannya kala itu hanyalah menuliskan curahan hati kepada sahabat penanya, Stella Zeehandelaar.

Salah satunya tercatat dalam surat bertanggal 6 November 1899 yang dikutip dari buku bertajuk Habis Gelap Terbitlah Terang."Mengenai agamaku, Islam, aku harus menceritakan apa? Islam melarang umatnya mendiskusikan ajaran agamanya dengan umat lain. Lagi pula, aku beragama Islam karena nenek moyangku Islam. Bagaimana aku dapat mencintai agamaku, jika aku tidak mengerti dan tidak boleh memahaminya?" tulis Kartini dalam suratnya, seperti Liputan6.com kutip, Rabu (15/6/2016)."Alquran terlalu suci, tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa apa pun agar bisa dipahami setiap Muslim. Di sini tidak ada orang yang mengerti bahasa Arab. Di sini, orang belajar Alquran tapi tidak memahami apa yang dibaca. Aku pikir, adalah gila orang diajar membaca tapi tidak diajar makna yang dibaca. Itu sama halnya engkau menyuruh aku menghapal bahasa Inggris, tapi tidak memberi artinya. Aku pikir, tidak jadi orang soleh pun tidak apa-apa, asalkan jadi orang baik hati. Bukankah begitu Stella?"Kegelisahan Kartini atas keputusan ulama melarang penerjemahan Alquran berlanjut sampai beberapa tahun kemudian. Dia lalu mengirimkan surat lagi kepada istri Direktur Pendidikan Agama dan Industri Hindia Belanda Nyonya Abendanon.Dalam surat tertanggal 15 Agustus 1902 dalam buku Habis Gelap Terbitlah Terang itu, dia menuliskan, tak mau lagi mempelajari Alquran."Dan waktu itu aku tidak mau lagi melakukan hal-hal yang tidak tahu apa perlu dan manfaatnya. Aku tidak mau lagi membaca Alquran, belajar menghapal perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti artinya," tulis dia."Jangan-jangan, guruku pun tidak mengerti artinya. Katakanlah kepada aku apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja. Aku berdosa. Kitab ini terlalu suci, sehingga kami tidak boleh mengerti apa artinya," kata Kartini.

'Tersihir' Al Fatihah

Namun kegelisahan Kartini ini menemui muaranya saat dia bertemu seorang ulama dari Darat, Semarang, Jawa Tengah. Kelak, sang ulama karib disebut sebagai Kiai Sholeh Darat.Konon, keduanya bertemu dalam acara pengajian di rumah Bupati Demak Pangeran Ario Hadiningrat, yang juga paman Kartini. Saat itu Kiai Sholeh sedang memberikan pengajaran tentang tafsir surat Al Fatihah, surat pembuka dalam Alquran. Satu hal yang sangat baru ditemui dan didengar Kartini.Pertemuan Kartini dan sang ulama dituturkan cucu Kiai Sholeh, yakni Fadhila Sholeh. Fadhila memaparkan hal ini lewat tulisan dalam bentuk selebaran yang terdapat di makam Kiai Sholeh di Semarang."Kartini memang tak pernah tahu apa arti dan makna dari surat Al Fatihah meski ia sering membacanya. Kartini benar-benar terpukau dan tersedot perhatiannya," tutur Fadhila dalam tulisannya.Fadhila melanjutkan, begitu pengajian usai, Kartini segera menemui pamannya. Ia menyampaikan keinginan bertemu Kiai Sholeh untuk berguru. Perempuan kelahiran Rembang 21 April itu bahkan sampai mendesak pamannya untuk menemani dirinya menemui sang ulama.

Makam Kiai Sholeh Darat, guru Kartini. (Edhie Prayitno Ige/Liputan6.com)Usahanya tak sia-sia. Pamannya yang terenyuh melihat Kartini pun mengantarnya."Kiai, perkenankan saya bertanya bagaimana hukumnya apabila seorang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?" tutur Kartini membuka dialog dengan Kiai Sholeh Darat setelah berbasa-basi lazimnya orang Jawa.Kiai Sholeh malah balik bertanya, "Mengapa Raden Ajeng mempertanyakan hal ini? Kenapa bertanya demikian?"Dijawab lagi oleh Kartini, "Kiai, selama hidupku baru kali ini aku berkesempatan memahami makna surat Al Fatihah, surat pertama dan induk Alquran. Isinya begitu indah, menggetarkan sanubariku," jawab Kartini.Kartini lalu menyampaikan rasa syukurnya kepada Allah diberi kesempatan memahami Al Fatihah. Kyai Sholeh tertegun. Kiai kharismatik itu tak kuasa menyela."Namun, aku heran mengapa selama ini para ulama melarang keras penerjemahan dan penafsiran Alquran ke dalam bahasa Jawa. Bukankah Alquran adalah bimbingan hidup bahagia dan sejahtera bagi manusia?" ucap perempuan bangsawan itu.

Terjemahan Pertama AlquranDialog berhenti sampai di situ. Fadhila menuliskan, Kiai Sholeh tak bisa berkata apa-apa kecuali bertasbih, Subhanallah. Kartini telah menggugah kesadaran Kiai Sholeh untuk melakukan pekerjaan besar, menerjemahkan Alquran ke dalam bahasa Jawa.Setelah pertemuan itu, Kiai Sholeh menerjemahkan ayat demi ayat, juz demi juz. Sebanyak 13 juz terjemahan diberikan sebagai hadiah perkawinan Kartini. Kartini menyebutnya sebagai kado pernikahan yang tidak bisa dinilai manusia.Surat yang diterjemahkan Kiai Sholeh adalah Al Fatihah sampai Surat Ibrahim. Kartini mempelajarinya secara serius, hampir di setiap waktu luangnya. Sayangnya, Kartini tidak pernah mendapat terjemahan ayat-ayat berikutnya karena Kiai Sholeh meninggal dunia sebelum bisa menyelesaikan terjemahan surat-surat lainnya.Cerita Fadhila tentang pertemuan Kartini dan sang ulama dibenarkan oleh cicit Kiai Sholeh, Lukman Hakim Saktiawan. Pria yang karib disapa Gus Lukman itu menyebutkan, Kartini merupakan santri Kiai Sholeh."Bu Fadhilla Sholeh membuat catatan itu karena peran Kiai Sholeh Darat seakan sengaja dihilangkan dalam proses pendewasaan berpikir Kartini," kata Gus Lukman kepada Liputan6.com.Gus Lukman menuturkan, tafsir Al Fatihah sang kiai ditulis menjadi kitab berjudul, Faid Ar Rahman. Inilah kitab tafsir Alquran perdana di Tanah Air yang ditulis dalam bahasa Jawa dengan aksara Arab. "Apa yang ia (Kartini) tulis dalam Habis Gelap Terbitlah Cahaya (Door Duisternis tot Licht) itu pasti dipengaruhi oleh guru yang sangat ia hormati selama mengaji Alquran," tutur dia. "Besar kemungkinan, Kartini menemukan susunan kata legendaris tersebut dalam pengajian Faid Ar-Rahman bersama Kiai Sholeh. Sebab kata-kata itu jelas diambil dari Alquran, minazzulumati ilan nur (dari kegelapan menuju cahaya) (QS Ibrahim [14]: 1)," ucap Gus Lukman.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya