Sabaki, Cengkerama Tetua Adat Banten Kidul di Pegunungan Halimun

Beranjak pagi, ketika ayam berkokok, matahari terbit dari ufuk timur tertutup hijaunya pegunungan di Gunung Halimun Salak.

oleh Yandhi Deslatama diperbarui 07 Sep 2016, 17:03 WIB
Diterbitkan 07 Sep 2016, 17:03 WIB
festival sabaki banten kidul di gunung halimun
Festival Sabaki Banten Kidul di Gunung Halimun. (Yandhi Deslatama/Liputan6.com)

Liputan6.com, Lebak - Selasa malam, 6 September 2016, para ketua adat atau ketua kasepuhan berkumpul di Imah Olot (rumah tua) Kasepuhan Pasir Eurih, Sobang, Kabupaten Lebak, Banten.

Mereka berembuk dan bersilaturahmi hingga dinihari untuk menggelar acara Festival Persatuan Adat Banten Kidul atau yang akrab disebut Sabaki.

Beranjak pagi, Rabu (7/9/2016), ketika ayam berkokok, matahari terbit dari ufuk timur tertutup hijaunya pegunungan di Gunung Halimun Salak. Saat itu suara seruling Sunda, angklung buhun, dan tumbukan lisung atau lesung merdu terdengar di Lapangan Desa Sindang Laya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten.

Festival Sabaki Banten Kidul di Gunung Halimun. (Yandhi Deslatama/Liputan6.com)

Ratusan kokolot atau kaum yang dituakan berkumpul duduk rapi di bawah tenda menggunakan ikat kepala bermotif khas Sunda berwarna cokelat. Mereka bersilaturahmi dan berbincang tentang kelestarian hutan dan kebudayaan adat para kasepuhan di Banten Kidul.

"Festival Sabaki yang ke-12 salah satu organisasi yang sifatnya penyambung antar-para kasepuhan di Banten Kidul dengan pihak pemerintah, swasta, dan pihak lainnya," kata Ketua Sabaki, Sukanta dalam sambutannya di acara Festival Sabaki yang berlangsung di lapangan Desa Sindang Laya, Kecamatan Sobang, Kabupaten Lebak, Banten.

Festival Sabaki Banten Kidul di Gunung Halimun. (Yandhi Deslatama/Liputan6.com)

Masyarakat adat di Banten Kidul ini berharap agar mereka dapat terus mandiri dalam bidang ekonomi, budaya, dan politik. Dengan begitu, masyarakat adat dapat terus hidup tanpa diganggu oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab.

"Kita harus berdaya secara politik, ekonomi, dan budaya, karena kita punya ciri kehidupan yang berbeda dengan masyarakat umum lainnya. Tanah yang sudah digarap sama masyarakat adat jangan sampai dikasihin ke orang lain demi kesejahteraan bersama," tutur Sukanta.

Guna melindungi keberadaan masyarakat adat Banten Kidul dari gerusan zaman yang semakin modern dan perusakan hutan, warga kasepuhan yang mendiami wilayah Pegunungan Halimun Salak ini telah memiliki payung hukum berupa Peraturan Daerah (Perda) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat Kasepuhan.

Hal ini disampaikan Wakil Bupati Lebak Ade Sumardi. "Perda bukan hanya melindungi budaya masyarakat. Membentengi termasuk wilayahnya. Perda itu untuk membentengi kebudayaan," kata Ade.

Beberapa poin perda tersebut di antaranya adalah, keberadaan kasepuhan sebagian masyarakat hukum adat di Kabupaten Lebak masih ada dan menjadi bagian dari komponen masyarakat yang harus diakui dan dihormati keberadaannya oleh negara. Pengaturan dan pengukuhan keberadaan kesatuan masyarakat hukum adat berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dilakukan dalam bentuk perda.

"Bedanya menggali budaya dengan menggali sumber daya alam itu, kalau menggali sumber daya alam akan habis. Kalau menggali budaya, maka enggak akan habis, malah bisa dijual untuk memperbaiki ekonomi masyarakat adat," ucap bupati.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya