Liputan6.com, Denpasar - Senyum mengembang selalu hadir dari remaja 14 tahun bernama Nyoman Arya. Ia kini duduk di kelas 2 SMP. Tidak tampak beban hidup pada wajahnya meski ia harus mengurus sendiri kedua adiknya, Ketut Sana (12) dan Wayan Sudirta (4,5).
Arya tiap hari menghidupi kedua adiknya tersebut. Setiap hari pula Arya harus mengajak si bungsu, Wayan Sudirta, pergi ke sekolahnya.
Tak jarang Arya mengajak adiknya tersebut ke dalam kelas. Sementara, adiknya yang nomor dua masih bersekolah di SD Ban kelas 5.
"Kalau sekolah diajak ke dalam kelas," kata Arya saat ditemui Liputan6.com di rumahnya, di Dusun Darmaji, Desa Ban, Kecamatan Kubu, Kabupaten Karangasem, Bali, Selasa sore, 6 September 2016.
Baca Juga
Ketut Madya yang masih memiliki hubungan keluarga dengan bocah malang itu menjelaskan, ayah Arya telah meninggal dunia sejak lima tahun lalu. "Meninggalnya karena sesak nafas. Kalau ibunya baru dua bulan lalu menikah lagi. Waktu habis menikah tiga hari, ibunya datang ke sini mengunjungi Arya dan adik-adiknya," kata Madya.
Namun, kebahagiaan Arya ditemui ibu hanya sekejap. Selepas ibunya menikah lagi, Arya dan kedua adiknya tak boleh ikut dengan keluarga barunya itu.
"Ibunya waktu itu cuma nengokin saja, karena kalau nikah sama orang lain, anaknya tidak boleh ikut," kata Madya.
Sejak saat itu, Arya harus menghidupi dua adiknya. Untuk mencari nafkah, ia menjadi kuli pemanjat pohon kelapa. Dari satu pohon yang dipanjatnya, Arya mendapat upah Rp 5 ribu. Dalam sehari, minimal Arya memanjat 10 pohon kelapa.
"Kalau lagi banyak permintaan, bisa 20 pohon dipanjat. Habis itu biasanya dia main bola atau membantu saya menyabit rumput," ujar Madya.
Arya kini tinggal di rumah terbuat dari bambu. Kamar mandi dan dapur terpisah. Atapnya terbuat dari ilalang. Tak ada penerang di malam hari karena listrik tidak tersambung ke rumah yang berada di tengah Bukit Puncak Sari itu.
"Rumah ini bangunan sudah lama. Ini bantuan dari pusat. Tidak ada aliran listrik. Kalau malam Arya dan adiknya tidur di rumah saya," ucap Madya.
Tiap hari, Arya harus berjalan kaki sejauh dua kilometer untuk bisa sampai di sekolahnya. Ia harus melewati tanah merah berdebu tebal dan berkelok-kelok setiap hari.
Tiap hari pula, Arya melewati jalan curam lantaran di sisinya merupakan jurang untuk menempuh pendidikannya. Sehari-hari, lauk pauk Arya dan kedua adiknya seringkali hanya mi instan.
"Kalau makan ya sehari tiga kali, nasi sama mi. Dimakan bareng sama adik-adik," tutur Arya.