Liputan6.com, Malang - Fara Nur Vidiati berjalan bergegas menuju halaman belakang SMK Negeri 6 Kota Malang, Jawa Timur. Siswi kelas 10 ini menjinjing sebuah tas kantong plastik besar yang penuh berisi sampah kertas dan plastik.
Di salah satu sudut halaman belakang itu, deretan meja tertata rapi dengan berbagai dokumen administrasi di atasnya. Beberapa siswa berseragam Pramuka duduk di balik meja itu. Usai mendaftarkan diri di meja pertama, Fara menuju ke alat timbang guna mengetahui bobot sampah bawaannya.
Hampir satu kilogram sampah bawaannya itu kemudian diserahkan ke siswa lainnya yang berjaga di satu ruang penuh tumpukan sampah. Kantong milik Fara dibongkar dan dipilah antara sampah kertas dan plastik. Fara kemudian mencatatkan berat sampah bawaannya ke buku tabungan.
“Bawa sampah dari rumah sendiri. Ada juga sebagian diambil dari rumah nenek. Dibantu Ibu untuk mengumpulkannya,” kata Fara, Jumat (30/92016).
Advertisement
Baca Juga
Sudah hampir dua bulan Fara dan siswa lainnya melakukan aktivitas itu. Mereka menabung sampah di bank sampah yang dikelola oleh sekolah.
Apalagi sekolah mewajibkan tiap siswa kelas 10 dan 11 untuk menabung sampah. Tiap kelas juga bergiliran piket bertindak sebagai petugas bank sampah sekolah.
“Belum tahu hasilnya mau dipakai untuk bayar uang sekolah tiap bulan atau akhir tahun, terserah Ibu. Tapi saya suka dengan menabung sampah ini,” ucap Fara.
Bank sampah sekolah ini berinduk pada Bank Sampah Malang (BSM) yang dikelola oleh Pemerintah Kota Malang. Hampir tiap minggu sekali ada truk pikap milik BSM yang datang ke sekolah mengambil tabungan sampah milik siswa maupun para guru di sekolah tersebut.
Bank sampah tingkat sekolah ini merupakan salah satu solusi bagi orang tua siswa untuk biaya pendidikan. Sekolah mendorong siswa untuk memanfaatkan hasil tabungan mereka tiap bulan sekali atau sekaligus mengambilnya di akhir tahun ajaran untuk biaya pendidikan mereka.
“Siswa boleh memanfaatkan tabungan sampah ini untuk bayar SPP. Boleh juga diambil nanti saat kenaikan kelas, atau bahkan saat kelulusan nanti,” ujar Kepala SMK Negeri 6 Kota Malang, Dwi Lestari.
Sekolah memungut siswa sebesar Rp 175 ribu untuk biaya SPP setiap bulan. Setiap siswa baru juga dikenakan sumbangan pembangunan sebesar Rp 2,5 juta sesuai kesepakatan dengan wali murid.
Biaya itu bisa diangsur semampu orang tua dan harus lunas sebelum masa kelulusan. Pungutan itu dilakukan karena tak semua biaya belajar seperti praktikum disubsidi oleh pemerintah.
Sebenarnya, tiap siswa di sekolah ini mendapat subsidi sebesar Rp 120 ribu dari Bantuan Operasional Sekolah Nasional (BOSNAS). Namun pihak sekolah menganggap dana sejumlah itu belum cukup untuk memenuhi semua kebutuhan operasional sekolah maupun siswa. Dana BOSNAS lebih banyak dimanfaatkan untuk pengadaan alat peraga maupun buku siswa.
Tabungan sampah ini diharapkan bisa membantu siswa untuk meringankan biaya pendidikan, seperti biaya praktikum, SPP, dan sumbangan pembangunan. Duit hasil tabungan sampah bisa juga dimanfaatkan untuk membiayai siswa studi banding atau rekreasi di akhir tahun ajaran.
Tabungan Sampah
Apalagi tiap siswa juga diberi buku tabungan yang mencatat berat sampah yang mereka tabung tiap seminggu sekali. Jika sampah yang mereka tabung banyak, orang tua siswa tak perlu lagi repot merogoh kocek. Cukup memanfaatkan uang dari hasil tabungan sampah itu.
“Misalnya ada yang tak mampu bayar SPP secara penuh tiap bulan. Siswa diizinkan membayar dengan uang hasil menabung sampah ini. Pembayaran sumbangan pembangunan juga bisa dibantu dari bank sampah ini, tinggal dipotong dari tabungan sampah,” ucap Dwi.
Seluruh orang tua siswa sudah mengetahui program bank sampah sekolah dan mereka merespons positif. Tiap seminggu sekali, dari sekitar 2.600 siswa dan guru SMK Negeri 6 ini ada satu kuintal lebih sampah yang terkumpul dan disetor ke BSM Kota Malang. Selain membantu biaya pendidikan siswa, langkah ini juga turut membantu persoalan sampah di rumah maupun lingkungan sekolah.
“Sebelumnya banyak sampah kertas atau botol dan gelas plastik yang dibuang ke tong sampah begitu saja. Tapi sejak sekarang bisa disetor ke bank sampah. Lumayan bantu tambahan operasional sekolah,” tutur Dwi.
Di wilayah Malang Raya (Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang) telah banyak yang menerapkan bank sampah tingkat sekolah ini. Berdasarkan data BSM Kota Malang, ada 235 sekolah di Malang Raya yang sudah menjadi nasabah. Sekolah–sekolah itu ada yang mengambil hasilnya tiap bulan sekali, tapi ada pula yang setahun sekali.
“Soal harga sampah ya sama antara yang disetor sekolah maupun nasabah lainnya, tak ada perbedaan. Kami juga siapkan tenaga pendamping untuk membantu manajemen bank sampah,” kata Fatimatus Zahro, Divisi Pemberdayaan BSM Kota Malang.
BSM Kota Malang telah ada sejak beberapa tahun lalu. Selain sekolah, sejauh ini sudah ada 75 instansi pemerintah dan swasta, 534 kelompok tingkat kelurahan dan desa, serta 1.210 individu yang menjadi nasabah.
Advertisement