Warga Blokir Tol Reformasi, Jalanan Makassar Mampet 4 Km

Para pendukung ahli waris pemilik lahan menggelar aksi penutupan Jalan Tol Reformasi, Makassar.

oleh Eka Hakim diperbarui 03 Okt 2016, 17:07 WIB
Diterbitkan 03 Okt 2016, 17:07 WIB
Sengketa Lahan
Para pendukung ahli waris pemilik lahan menggelar aksi penutupan Jalan Tol Reformasi, Makassar. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Liputan6.com, Makassar - Para pendukung ahli waris pemilik salah satu lahan menggelar aksi penutupan Jalan Tol Reformasi, Makassar, Sulawesi Selatan, Senin (3/10/2016) pagi tadi. Aksi blokade yang berlangsung sejak pukul 09.00-13.30 Wita itu berdampak pada kemacetan jalan di beberapa ruas jalan protokol di Makassar hingga 4 kilometer (km).

Ini aksi kedua para pendukung ahli waris pemilik lahan, Intje Koemala Versi Chandra Taniwijaya. Mereka meragukan niat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) untuk membayarkan sisa uang ganti rugi lahan.

"Segala upaya hukum telah kami lakukan hingga berdemo di depan Istana Presiden (Jakarta). Setelah itu, upaya persuasif pun telah ditempuh," ucap Andi Amin Halim Tamatappi selaku kuasa hukum ahli waris Intje Koemala di sela memimpin aksi penutupan Jalan Tol Reformasi Makassar, Senin (3/10/2016).

Namun, menurut Amin, selama 17 tahun menunggu kepastian, ternyata pembayaran sisa uang ganti rugi lahan tidak ada kejelasan.

Amin menjelaskan, sisa uang ganti rugi lahan yang belum terbayarkan sebesar Rp 9 miliar lebih dari total anggaran pembebasan lahan tahun 1996 senilai Rp 12 miliar.

"Pembayaran awal pembebasan lahan telah kami terima tahun 1998 sebesar Rp 2,5 miliar setelah melalui proses verifikasi yang cukup panjang oleh tim pembebasan lahan. Kemudian pada tahun 2001 hingga detik ini, sisa pembayaran belum kami terima selalu dijanji palsu oleh Kementerian PUPR," sebut Amin.

Para pendukung ahli waris pemilik lahan menggelar aksi penutupan Jalan Tol Reformasi, Makassar. (Liputan6.com/Eka Hakim)

Dalam proses pengurusan sisa pembayaran uang ganti rugi lahan, menurut Amin, ada seorang warga yang mengaku sebagai ahli waris yang juga berhak mendapat ganti rugi bernama Ince Baharuddin. Ince ini ternyata sama sekali tak ada hubungan kekeluargaan dengan Intje Koemala selaku pemilik lahan.

Namun, karena nama yang mirip, sehingga Ince Baharuddin memanfaatkan kondisi dan mengaku sebagai bagian dari ahli waris.

"Akhirnya kita pun diarahkan untuk menyelesaikan itu dulu dengan menggugat Ince Baharuddin dan Kementerian PUPR hingga tingkat Peninjauan Kembali (PK) di Mahkamah Agung (MA)," Amin memaparkan.

"Alhasil, MA memutuskan kami yang berhak menerima sisa ganti rugi dan Kementerian PUPR diperintahkan untuk segera membayar sisa uang ganti rugi lahan," Amin menambahkan, sembari memperlihatkan putusan PK tingkat MA yang berkekuatan hukum tetap alias inkracht bernomor 17/PK/Pdt/2009 tertanggal 24 November 2010.

Hanya saja, menurut Amin, sekalipun putusan telah mengikat dengan jelas, Kementerian PUPR tak kunjung mematuhi putusan dan tak ada niat baik untuk menyelesaikan sisa uang ganti rugi lahan hingga saat ini.

"Tinggal pengadilan Tuhan yang kami belum tempuh. Semua upaya baik secara hukum hingga persuasif kami sudah tempuh. Namun itu lagi, kami hanya dijanji dan dijanji hingga tak ada kabar," ucap Amin.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya