Perahu Pinisi, Antara Perjalanan Mencari Cinta dan Ritual Mistis

Di dalam kisah awal pembuatan pinisi terselip juga cerita melanggar janji sang putra raja.

oleh Eka Hakim diperbarui 18 Okt 2016, 19:25 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2016, 19:25 WIB
Seorang perajin menghaluskan miniatur perahu pinisi yang terbuat dari bambu di sentra kerajinan bambu Desa Kelapa Sawit, Kalimanah, Purbalingga, Jateng. (Antara)

Liputan6.com, Makassar - Pinisi merupakan perahu legendaris yang tak hanya terkenal seantero Nusantara, tapi juga menembus mancanegara setelah Kapal Dewaruci melanglang buana. Perahu kayu warisan nenek moyang Sulsel itu masih bisa ditemui di Pelabuhan Paotere, Kota Makassar.

Di sana bisa dijumpai puluhan pinisi yang bersandar usai mengarungi lautan lepas sebagai kapal pengantar barang. Sebagian nelayan juga menggunakannya untuk mencari ikan bagi kehidupan keluarganya.

Pinisi mulai muncul sekitar abad 14 hingga 16 Masehi. Pembuat pertama perahu layar tersebut adalah putra Kerajaan Luwu yang dikenal dengan nama Sawerigading. Ia merupakan salah satu tokoh legendaris dalam buku Lontarak I Babad La Galigo yang perjalanan hidupnya ditampilkan dalam pementasan di berbagai daerah hingga luar negeri.

Dalam buku tersebut, Sawerigading diceritakan baru pulang dari pengembaraan saat berjumpa dengan saudara kembarnya, Watenri Abeng. Ia kemudian jatuh cinta pada Watenri hingga membuat ayahnya yang merupakan Raja Luwu marah besar.

Karena itu, Sawerigading meninggalkan kampung halamannya demi mencari seseorang yang berwajah mirip Watenri. Sesuai saran saudara kembarnya, Sawerigading berencana berangkat ke Tiongkok dan menemukan sesosok perempuan We Cudai yang dikabarkan mirip dengan Watenri.

Sebelum berangkat, Sawerigading kebingungan mendapatkan cara mengarungi lautan lepas yang dikenal ganas. Orang-orang terdekatnya menyarankan Sawerigading membuat perahu yang tangguh dan kuat.

Ia pun mencari cara membuat sebuah perahu yang kuat. Seseorang memberinya masukan agar Sawerigading menggunakan kayu pohon welenreng atau pohon dewata yang ketika itu hanya bisa didapatkan dari daerah Mangkutu.

Sawerigading pun mencari pohon tersebut. Saat hendak ditebang, tak ada seorang pun mau membantunya karena pohon dimaksud dikeramatkan warga. Namun, ia tak berputus asa.

Ia menemui neneknya, La Toge Langi, yang dikenal masyarakat Luwu sebagai Batara Guru. Menurut La Toge, pohon keramat itu bisa ditebang setelah roh penunggunya dipindahkan ke pohon lain dengan cara menggelar ritual upacara.

Setelah upacara ritual digelar yang dipimpin langsung La Toge, pohon walenreng akhirnya bisa ditebang dan dibawa ke perkampungan untuk segera dibuat menjadi perahu. Dibantu kekuatan sang nenek, Sawerigading berhasil membuat perahu di dalam perut bumi.

Perahu itu kemudian digunakan Sawerigading untuk ke negeri Tiongkok mencari We Cudai. Sebelum mengarungi lautan, Sawerigading berjanji tak akan lagi kembali ke Tanah Luwu jika kelak menemukan We Cudai.

Melanggar Janji

Mengintip Pembuatan Perahu Pinisi di Bulukumba
Perahu Pinisi, perahu yang proses pembuatannya memadukan keterampilan teknis dengan kekuatan magis.

Sawerigading akhirnya berhasil tiba di Tiongkok dan bertemu dengan We Cudai. Ia selanjutnya mempersuntingnya menjadi istri. Setelah lama menetap, Sawerigading tiba-tiba ingin pulang ke Luwu.

Ia pun meminta ijzn kepada We Cudai dan berlayar kembali ke Luwu. Di tengah perjalanan menuju ke Luwu, perahu yang dikendarai Sawerigading dihantam ombak besar dan menyebabkan perahu tersebut hancur terbagi beberapa keping.

Sebagian badan perahu terdampar di antai Ara, tali temali dan layar perahu terdampar di daerah Tanjung Bira, dan lunas perahu dikabarkan terdampar di daerah Lemo-Lemo. Masyarakat dari ketiga daerah yang semuanya dalam wilayah Kabupaten Bulukumba, Sulsel, tersebut mencoba menyusun kepingan perahu yang didapatkan hingga kembali utuh menjadi sebuah perahu.

Dari kisah itu, warga percaya nenek moyang ketiga tempat itulah yang membuat atau merekonstruksi perahu milik Sawerigading yang kini dikenal dan dikagumi dengan sebutan pinisi. Sejak itu, keturunan di tiga tempat di Kabupaten Bulukumba tersebut mewarisi keahlian membuat perahu yang melegenda itu.

Salah satunya Haji Wahab seorang pembuat pinisi asal Desa Ara, Kecamatan Tana Beru, Kabupaten Bulukumba, Sulsel. Wahab yang kini memasuki usia 67 tahun itu sudah membuat puluhan perahu layar tradisional itu pesanan nelayan lokal maupun mancanegara. Salah satunya dari Italia.

Proses pembuatan pinisi, kata dia, dilakukan di sebuah galangan kapal sederhana yang disebut sebagai bantilang. Pembuatan pinisi tak boleh orang sembarangan melainkan hanya melibatkan tukang ahli yang disebut punggawa. Para punggawa dibantu para tukang lainnya yang disebut sawi.

"Secara keseluruhan melibatkan puluhan orang. Semuanya tukang ahli yang didapatkan dari warisan leluhur," kata Wahab.

Pembuatan sebuah pinisi, lanjut Wahab, bisa memakan waktu hingga tahunan. Itu tergantung dari besarnya perahu yang akan dibuat. Tak hanya proses pembuatan yang memakan waktu, tetapi juga proses pencarian kayu.

Kayu yang digunakan kata Wahab berasal dari pohon Walenreng atau Dewata karena pohon tersebut memiliki daya tahan dan sangat serta mampu awet jika lama terkena air.

"Kayu ini dicari pada hari hari tertentu, yaitu hari kelima dan ketujuh, pada bulan dimulainya pembuatan perahu. Ini ada kaitannya dengan kepercayaan bahwa angka 5 dianggap sebagai angka yang baik karena mempunyai makna rezeki sudah ada di tangan, sedangkan angka 7 berarti selalu memperoleh rezeki," tutur Wahab.

Ritual Pembuatan Pinisi

perahu pinisi
perahu pinisi negeri maritim

Sama dengan sejarah awalnya, kata Wahab, dalam menebang pohon walenreng juga dilakukan ritual upacara persembahan di mana seekor ayam disembelih dan dijadikan tumbal dalam ritual adat itu. Tujuannya agar roh halus yang menghuni pohon tersebut berpindah dan ke depannya kayu yang digunakan tidak membawa dampak sesuatu yang tidak diinginkan.

Tak hanya dalam pencarian hingga penebangan pohon yang dijadikan bahan baku pinisi, ritual kembali diadakan  namun sebelum kayu dipotong-potong sesuai dengan keinginan dan dilakukan peletakan balok lunas.

Balok lunas diletakkan di bawah kayu yang akan dijadikan bahan pembuatan pinisi dan salah satu ujungnya dihadapkan ke timur laut. Hal itu merupakan simbol laki-laki. Sedangkan ujung yang satu lagi yang arahnya berlawanan merupakan simbol perempuan.

"Kayu yang sudah dikeringkan kemudian akan dipotong sesuai keinginan. Namun tetap dilakukan hajatan doa yang tujuannya agar kayu tersebut dapat berfungsi dengan baik ketika telah menjadi perahu," kata Wahab.

Selain itu, pemotongan kayu dilakukan tak boleh secara terputus putus melainkan harus sampai selesai hingga kayu terpotong. Hal itu untuk menjaga kekuatan kayu.

"Pemotongan kayu dimulai pada bagian ujung-ujungnya. Salah satu potongan ujungnya nanti akan dibuang ke laut sebagai penolak bala dan sekaligus sebagai simbol peran laki-laki (suami) yang mencari nafkah di laut. Sedangkan, ujung yang satunya disimpan di rumah sebagai simbol peran perempuan (isteri) yang menunggu suami pulang," ujar Wahab.

Tak sampai di situ, ritual lainnya kembali dilakukan setelah memasuki proses pemasangan papan pengapit lunas (soting). Pemasangannya disertai dengan upacara yang disebut kalebiseang dan disusul dengan pemasangan papan yang ukurannya berbeda-beda (dari bawah ke atas).

"Papan yang kecil ada di bagian bawah, sedang papan yang besar ada di bagian atas. Dan sebelum pemasangan ada upacara lagi yang disebut anjerreki, yaitu upacara yang bertujuan untuk memperkuat lunas," Wahab menjelaskan.

Setelah papan tersusun, proses pekerjaan selanjutnya adalah pemasangan buritan dan tempat kemudi bagian bawah.

"Badan perahu yang telah terbentuk tapi masih banyak sela di antara papan yang satu dengan lainnya, maka sela-sela tersebut ditutup dengan majun. Inilah yang disebut appanisi," kata dia.

Kemudian diberikan perekat agar sambungan antarpapan dapat merekat dengan kuat. Perekat itu terbuat dari sejenis kulit pohon yang bernama pohon barruk.

Selanjutnya proses berikutnya adalah "allepa" atau mendempul. Bahan untuk mendempul menggunakan campuran kapur dan minyak kelapa. Campuran tersebut diaduk oleh sedikitnya enam orang selama sekitar 12 jam. Banyaknya dempul yang diperlukan bergantung dari besar-kecilnya perahu yang dibuat.

"Badan perahu yang telah dilapisi dengan dempul itu dihaluskan dengan kulit buah pepaya," ujar dia..

Penggunaan bahan-bahan seperti kulit pohon barruk dan kulit buah pepaya ada kaitannya dengan mitos awal mula penciptaan pinisi yang menggunakan kekuatan magis. Orang-orang di Tana Beru merasa mereka adalah bagian dari alam, sehingga ia tetap menjaga hubungan tersebut yang sifatnya sakral.

Hingga saat ini, Kabupaten Bulukumba masih dikenal sebagai produsen pinisi yang para perajinnya tetap mempertahankan tradisi dalam pembuatan perahu penakluk tujuh samudra itu, terutama perajin pinisi di Kecamatan Tana Beru.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya