Liputan6.com, Jakarta - Konflik berbasis sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA pernah mengoyak harmoni di Maluku. Pecah di awal 1999, konflik berkepanjangan sepanjang tahun. Â Bahkan hingga bertahun-tahun kemudian konflik masih menyisakan luka.
Rakyat dan segenap pemangku kepentingan di Maluku, berupaya keras mengubur sejarah kelam itu dalam-dalam. Segenap upaya dilakukan guna mencegah terulangnya konflik. Seruan katong samua basudara, kita semua bersaudara, terus didengungkan.
Namun, potensi konflik itu belum hilang sepenuhnya. Masih ada sisa konflik di tanah Maluku, baik horizontal antar-warga, bahkan vertikal yang bernada separatis. Sedikit banyak potensi konflik bak api dalam sekam.
Advertisement
Panglima Komando Daerah Militer XVI/Pattimura, Mayjen TNI Doni Monardo, menyadari hal itu. Begitu dilantik menjadi pangdam pada pertengahan 2015, sehari kemudian dia langsung berkeliling ke daerah-daerah konflik.
Baca Juga
Temuannya, masih ada potensi konflik sosial. Namun menariknya, warga sudah lelah, dan minta didamaikan. Mantan Danjen Kopassus itu pun memetakan masalah seraya mencari solusi bagaimana merajut tenun kerukunan di Maluku.
Alhasil, lahirlah program Emas Biru dan Emas Hijau. Tak jauh dari judulnya, program ini menggali emas-emas yang ada di Maluku. Apakah itu?
Emas-emas itu tak lain adalah potensi Maluku, yang dulu membuat para penjelajah negeri lain berdatangan untuk mendapatkannya, yakni potensi dalam bumi dan lautnya. Sejarah mencatat, penjelajah luar begitu terpikat dengan rempah-rempah Maluku.
Emas Hijau pun menjadi sebutan hasil-hasil pertanian, perkebunan, dan peternakan Maluku. Adapun Emas Biru untuk menyebut potensi dari laut Maluku.
Mayjen Doni dan jajarannya mengajak rakyat Maluku untuk kembali "menambang" emas-emas itu, sekaligus melupakan sekat- sekat perbedaan dan menepis konflik. Sudah 1,5 tahun program itu dirintis, dan kini menunjukkan hasilnya: menambah geliat perekonomian sekaligus meretas kedamaian.Â
Konflik MeredaÂ
Kapendam Kodam Pattimura, Kolonel Arh M. Hasyim Lalhakim, menjelaskan, program Emas Hijau dan Emas Biru pada prinsipnya mengajak masyarakat, terutama yang berpotensi konflik, untuk mengoptimalkan potensi bumi dan laut Maluku. Kelompok-kelompok petani dan nelayan di berbagai daerah dilibatkan.
"Semangatnya pemberdayaan dan meningkatkan kesejahteraan bersama," jelas dia kepada Liputan6.com, melalui telepon, Jumat (10/3/2017).
Dalam program Emas Biru, dia menjelaskan, pihaknya memberikan bantuan sarana prasarana semisal keramba dan jaring apung ke kelompok-kelompok nelayan. Menariknya, dua kelompok yang sering bertikai selalu disandingkan agar menggarap proyek itu bersama-sama.
Pola sama diterapkan dalam program Emas Hijau. Warga disatukan dalam program budi daya dalam lahan yang berdekatan, dengan alat yang sama. Mereka pun bergotong royong dan tanpa terasa terpupuklah kerukunan di antaranya.
"Program Emas ini mengubah lawan jadi kawan," kata Hasyim.
Potensi konflik pun mereda. Satu contoh di sebuah daerah masih banyak simpatisan gerakan separatis Republik Maluku Selatan. Dengan mengikuti program ini, nasionalisme mengembang di sana. "Sudah Merah Putih," ucap Hasyim.
Konflik horizontal pun teratasi. Contohnya konflik panjang Desa Mamala dan Morella di Kabupaten Maluku Tengah. Konflik sudah berlangsung 40 tahun. "Konflik kadang hanya dipicu masalah batas desa," jelas dia.
Begitu sengitnya konflik, selama bertahun-tahun warga masing-masing desa tak melintasi desa seberang, dan rela memutar melalui laut. Korban harta dan jiwa tak terhitung lagi selama bertahun-tahun konflik.
Konflik berangsur mereda sejak warga dua desa mengikuti program Emas Biru dan Emas Hijau yang diinisiasi Kodam Patimura dan pemerintah setempat. Kisah sukses kedamaian dengan "menambang emas" bersama-sama inilah yang akan terus diulang.Â
Advertisement