Lebaran Ketupat Warisan Panglima Perang Diponegoro di Minahasa

Panglima perang Pangeran Diponegoro diasingkan ke Minahasa dan meninggal di sana pada usia 84 tahun. Warisannya masih langgeng hingga kini.

oleh Yoseph Ikanubun diperbarui 03 Jul 2017, 12:30 WIB
Diterbitkan 03 Jul 2017, 12:30 WIB
Lebaran Ketupat Warisan Panglima Perang Diponegoro di Minahasa
Sultan Hamengkubhawono mengikut gelar Lebaran Ketupat di Kampung Jaton, Minahasa. (Liputan6.com/Yoseph Ikanubun)

Liputan6.com, Tondano - Perayaan Lebaran Ketupat di Kampung Jawa Tondano (Jaton), Kabupaten Minahasa, Minggu, 3 Juni 2017 terlihat lain dari biasanya. Salah satu penyebabnya adalah kehadiran Sri Sultan Hamengkubuwono X bersama istrinya, Gusti Kanjeng Ratu Hemas.

Sultan bersama Ratu Hemas tak segan berbaur dengan masyarakat setempat yang mayoritas adalah warga keturunan Jawa – Minahasa. "Ternyata Sri Sultan sangat ramah terhadap warga. Mau berbaur dengan kami masyarakat di Jaton," kata Nurhayati Kiay Demak, warga keturunan Kampung Jaton.

Suasana persaudaraan dari komunitas multietnis, termasuk kehadiran warga Kristiani di acara Lebaran Ketupat, menarik perhatian Sultan. Ia mengapresiasi warga Kampung Jawa Tondano bersama masyarakat Minahasa yang dianggap sukses menggelar Gebyar Ketupat.

"Lebih dari itu, mampu menjaga keragaman ini ratusan tahun," ujar Gubernur DI Yogyakarta ini.

Gubernur Sulut Olly Dondokambey menyambut baik kehadiran Sultan bersama permaisuri di Bumi Nyiur Melambai. "Kemajemukan kehidupan masyarakat di Sulawesi Utara ini terus berjalan dan terpelihara," ujar Olly.

Sultan bersama Kanjeng Ratu menghabiskan waktu tiga hari di Sulawesi Utara untuk mengikuti sejumlah kegiatan mulai dari Munas ke-2 Kerukunan Keluarga Jawa Indonesia (KKJI), Festival Budaya Jaton, dan Gebyar Ketupat.

Kampung Jaton punya latar belakang sejarah yang terkait erat dengan pembuangan Kiai Modjo yang merupakan penasehat agama sekaligus panglima perang dari Pangeran Diponegoro pada Perang Jawa (1825-1830).

Pada 1828, Kiai Modjo ditangkap Belanda dan kemudian dibawa ke Batavia, selanjutnya Kyai Modjo dan 63 orang pengikutnya diasingkan Belanda sebagai tahanan politik ke Minahasa, Sulawesi Utara.

Kiai Mojo tiba di Tondano pada 1829 hingga meninggal di sana pada 20 Desember 1848 dalam usia 84 tahun. Kecuali Kiai Mojo, semua pengikutnya (semuanya pria Jawa) menikahi perempuan Minahasa asli Tondano. Keturunan mereka mendiami kampung yang saat ini dikenal dengan Kampung Jawa Tondano.

"Sekarang Kampung Jaton tidak hanya ada di Minahasa, melainkan juga di Kota Tomohon dan Bolaang Mongondow di Provinsi Sulawesi Utara. Bahkan, juga sudah tersebar hingga ke Provinsi Gorontalo," ujar Shinta Pulukadang, warga kampung Jaton Minahasa.

 

Saksikan video menarik berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya