Liputan6.com, Sidoarjo - Seorang bocah lelaki putus sekolah sejak kelas 1 SD. Cucu seorang juru kunci makam bernama Nursilan, yang akrab disapa Silan itu, tak bisa lagi mengenyam bangku pendidikan setelah kedua orangtuanya bercerai.
"Sudah lama tak sekolah. Pernah sekolah di SDN Bulang, tapi hanya sampai kelas 1. Dan kalau pun saya masih sekolah, mungkin sekarang kelas 6," kata Nursilan, Senin, 7 Agustus 2017.
Anak tunggal dari Susin (25), warga Desa Bulang, Kecamatan Prambon, Sidoarjo, Jawa Timur itu sehari-hari hanya bermain sendiri. Ia baru bisa bertemu teman-teman sebayanya jika mereka sudah pulang sekolah.
"Pengennya sekolah. Biar sama dengan temen-temen," ucapnya.
Karena tak bersekolah, ia mengaku tak bisa membaca dan menulis. Namun, ia tak bisa berharap ibunya akan menyekolahkannya kembali. Sejak ditinggal pergi Sarianto, ayahnya, keluarga itu hanya mengandalkan Susin untuk membiayai hidup sehari-hari.
Silan tinggal bersama Susin dan kakeknya, Sadi (68) di gubuk 4x6 meter persegi. Menurut Budhe Silan, Poni, sehari-hari Susin bekerja sebagai buruh pengupas bawang merah dan putih di desa Tanjung Anom. Sedangkan, kakeknya bekerja sebagai juru kunci makam di sekitar Desa Bulang, Kecamatan Prambon, Sidoarjo.
Baca Juga
Advertisement
Perekonomian Susin terbilang minim. Sebagai buruh, penghasilannya tak menentu. Terkadang, Susin mampu membawa pulang uang sebesar Rp 20-25 ribu per hari. Namun, ia sering pula tak bawa uang sama sekali.
"Kakeknya hanya juru kunci makam. Untuk makan pun, terkadang mereka masih kekurangan," ucapnya.
Penghasilan ibunya yang tak menentu membuatnya jarang makan. Tak jarang pula dia kerap dimarahi ibunya lantaran pulang tak membawa uang.
"Kadang sehari tiga kali, dua kali makan. Sering juga enggak makan, karena enggak masak," ujarnya.
Terkait permasalahan bocah putus sekolah, Kepala Dinas Pendidikan Sidoarjo, Mustain Baladan menyatakan pemerintah desa bertanggung jawab lebih terhadap kelangsungan hidup warganya.
"Di Sidoarjo sudah menerapkan program sekolah gratis atau Wajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun," tuturnya.
Mustain menjelaskan, program pendidikan dasar sembilan tahun merupakan program wajib bagi kalangan anak-anak untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun. Pendidikan, sambung dia, merupakan salah satu program prioritas bagi pemerintah selain infrastruktur dan kesehatan, sehingga perlu perhatian penuh bagi masyarakat.
"Kalau di Perbup itu sekolah gratis 9 tahun. Gratis dalam artian, semua pembiayaan sekolah digratiskan, terkecuali biaya yang menyangkut pribadi," kata Mustain.
Meski begitu, bukan berarti pemerintah tidak memperhatikan kalangan warga tak mampu. Bahkan, anak yang tergolong tidak mampu bisa dibantu dengan Dana BOS.
"Jadi, pihak sekolah mengajukan laporan terkait anak tersebut, baru nanti akan dibantu operasionalnya. Dengan catatan benar-benar tidak mempunyai biaya," ucapnya.
Pihaknya menekankan tidak ada alasan apapun anak putus sekolah. Sedangkan dalam kasus ini, pihak desa harus pro aktif dalam menyosialisasikan hal itu pada warga yang masuk kriteria wajib bersekolah.
Dalam catatan Dinas Pendidikan Sidoarjo, jumlah angka putus sekolah mencapai 0,01 persen dari 210 ribu siswa pada 2015-2016 kalangan Sekolah Dasar. Sedangkan, jumlah anak putus sekolah di tingkatan SMP mencapai 0,09 persen pada 2015, dan 0,08 persen pada 2016 dari jumlah total 91 ribu siswa.
"Kami berharap, tidak ada satu anak pun di Sidoarjo yang tidak sekolah dengan alasan apapun. Sehingga, kami menekankan agar pihak desa turut membantu dalam mengkoordinir kalangan anak-anak untuk terus bersekolah," ujarnya.
Saksikan video menarik di bawah ini: