Kekeringan, Ibu-Ibu dan Anak Nekat Mencuci di Waduk yang Dalam

Padahal, mencuci di waduk punya risiko besar tenggelam. Apalagi Waduk Sangge tergolong waduk yang dalam.

oleh Felek Wahyu diperbarui 19 Agu 2017, 17:02 WIB
Diterbitkan 19 Agu 2017, 17:02 WIB
Waduk Sangge
Sembari mengasuh anak, ibu-ibu nekat mencuci di bibir Waduk Sangge. Foto: (Felek/Liputan6.com)

Liputan6.com, Grobogan - Kekeringan yang semakin meluas di wilayah Kabupaten Grobogan membuat ibu-ibu nekat mencuci pakaian dan perabotan di bibir waduk. Mirisnya, mereka juga mengajak serta anak-anaknya.

Seperti yang dilakukan ibu-ibu di Desa Tambirejo, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan. Mereka bertaruh nyawa dengan mencuci di bibir Waduk Sangge yang terbuat dari susunan batu.

Salah satu warga yang sedang mencuci, Sriyati, mengatakan ia terpaksa memanfaatkan waduk karena sumur di rumahnya sudah kering akibat musim kemarau.

"Sumber air di sumur sudah kering. Jadi untuk kebutuhan sehari-hari harus beli air. Untuk mencuci juga harus di waduk," ungkapnya kepada Liputan6.com, Sabtu, (19/8/2017)

Hal serupa juga dirasakan Tatik. Wanita yang masih merupakan tetangga Sriyati itu memiliki alasan serupa untuk nekat mencuci di bibir waduk Sangge.

"Semua sudah kering. Sawah sudah kering apa lagi sumur. Sudah dua bulan air tidak ada. Nyucinya di waduk untuk memasak dan mencuci beli air per galon Rp 60 ribu hingga Rp 80 ribu itu habis seminggu,” tambahnya.

Padahal, mencuci di waduk punya risiko besar tenggelam. Apalagi Waduk Sangge tergolong waduk yang dalam. Namun, warga tak punya pilihan.

"Kami berharap ada suplai air dari pemerintah. Hingga saat ini belum ada bantuan suplai air," terangnya. 

Hal berbeda lagi dilakukan kalangan pria. Untuk bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga, sawah yang tidak dikelola terpaksa harus dijual tanahnya. Tentunya bukan keseluruhan dari bidang sawah yang menjadi mata pencaharian mereka. Namun, tanah dijual dalam bentuk bongkahan guna dijadikan tanah urug.

Sejumlah petani ini rela menjual bongkahan tanah dari sawah mereka untuk bertahan hidup.  Kondisi ini disebabkan musim kemarau yang berkepanjangan, sehingga sawah tidak bisa ditanami.

Warga menjual bongkahan tanah untuk bertahan hidup setelah sawah mereka tidak bisa ditanami karena tidak ada hujan.Foto: (Felek Wahyu/Liputan6.com)

Jono, petani asal Kecamatan Purwodadi, Kabupate Grobogan, menjual bongkahan tanah untuk menutupi kebutuhan keluarganya sehari-hari.

"Sawah di sini hanya mengandalkan air hujan. Jadi kalau kemarau tidak bisa ditanami. Kalau jual tanah begini kan bisa buat nutup kebutuhan sehari-hari," akunya sembari mengangkat bongkahan tanah.

Banyaknya warga yang menjual tanah diikuti dengan banyaknya truk yang hilir mudik masuk ke dalam sawah guna mengangkut bongkahan tanah.

"Lumayan juga kerja di sini, daripada menganggur. Sawah juga tidak bisa ditanami," aku Parjo, pekerja bongkar tanah dadakan yang karena tidak bisa menanam padi di sawah.

Bongkahan tanah ini biasanya digunakan untuk menguruk halaman rumah atau pondasi bangunan baru. Harga jualnya pun bervariasi, tergantung jarak tempuh dari tempat pengambilan bongkahan tanah menuju lokasi pengurukan. Berkisar Rp 90 ribu sampai Rp 150 ribu.

"Biasanya kalau ke desa sekitar sini saja cuma Rp 90 ribu, kan jaraknya sangat dekat. Lain halnya kalau sampai Purwodadi sana, tentu harganya berbeda," tambah Parjo.

Warga lebih memilih bongkahan tanah dari sawah, selain harganya lebih murah dari tanah padas yang biasanya untuk uruk, tanah dari sawah ini bisa ditanami saat dipakai untuk pengurukan halaman.

"Memang harganya lebih murah. Di samping itu, kalau ditanami juga subur, lain halnya dengan tanah padas," aku Rokani, pemakai tanah urug.

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya