Liputan6.com, Karangasem - Pengungsi Gunung Agung di sejumlah wilayah di Kabupaten Karangasem, Bali, melaksanakan persembahyangan pada Hari Suci Galungan, peringatan kemenangan darma (kebaikan) melawan adharma (keburukan).
"Persembahyangan dilaksanakan di Pura Merajan (keluarga), pura desa, dan pura-pura lainnya di wilayah desa kami," ucap Made Dwi (30), salah satu warga Desa Besakih, Rabu (1/11/2017), dilansir Antara.
Galungan tahun ini dirasakan berbeda jika dibandingkan perayaan serupa enam bulan lalu. Sebagian besar warga Besakih, kini harus menetap di pengungsian di sejumlah wilayah di Kabupaten Klungkung.
Advertisement
"Ada yang sudah pulang dan menempati rumah masing-masing. Tetapi, masih banyak pula yang di pengungsian karena banjarnya masuk kawasan rawan bencana," katanya.
Baca Juga
Nengah Pondoh (60), warga Desa Sebudi mengaku pulang ke rumah untuk bersembahyang pada perayaan Hari Suci Galungan.
Pondoh sebelumnya sempat pulang guna mempersiapkan berbagai jenis kebutuhan jelang Galungan. Sanak keluarga pria mempersiapkan penjor dan makanan, sedangkan yang perempuan mempersiapkan sarana banten (sajen) dan persembahan.
Jarak rumah yang hanya empat kilometer dari puncak kawah membuatnya was-was tinggal terlalu lama di desanya. "Kalau sudah malam pasti kembali ke pengungsian. Takut juga kalau lama-lama di rumah. Cari aman saja," tutur dia, sembari membuat penjor Galungan.
Sebelumnya, Gubernur Bali, Made Mangku Pastika menyatakan, bagi pengungsi yang berada di zona merah dipersilakan pulang kembali ke desa masing-masing untuk melaksanakan persembahyangan Galungan.
Pastika berpesan agar para pengungsi tetap menjaga kewaspadaan dan secara khusus berdoa sembari berharap keadaan segera membaik pascapenurunan status Gunung Agung dari Awas ke Siaga.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Pengungsi Senang Rayakan Galungan di Rumah
Sebelumnya, para pengungsi Gunung Agung di Kabupaten Klungkung, Bali, memilih pulang ke rumah masing-masing di berbagai wilayah di Kabupaten Karangsem untuk merayakan Galungan, hari kemenangan dharma (kebaikan) melawan adharma (keburukan).
"Kami memilih di rumah saja merayakan Galungan. Status juga sudah lebih aman. Jadi tidak perlu takut lagi berada di rumah," kata Ketut Suada (51), pengungsi asal Desa Muncan, Kabupaten Karangasem, seperti dilansir Antara, Senin (30/10/2017).
Menurutnya, peringatan Galungan setiap enam bulan sekali merupakan hal penting. Selain merupakan hari besar keagamaan, hari besar ini juga sebagai sarana berkumpul dan bercengkerama dengan sanak keluarga di kampung halaman.
Terlebih, hampir sebulan lebih dia dan keluarga berada di pengungsian warga terdampak Gunung Agung di GOR Swecapura, Klungkung, yang jauh dari rumahnya di Muncan.
"Kami sudah lama tidak berkumpul dengan sanak keluarga di desa. Pengungsi asal Muncan tersebar di berbagai wilayah di Klungkung," tutur dia.
Setelah dipulangkan, Suada mengaku akan tetap berada di rumah sembari menunggu informasi lanjutan dari kepala desa dan pemerintah daerah.
"Saya ikut saja apa keputusan pemerintah. Kalau pulang ya pulang, kalau disuruh mengungsi kami akan kembali lagi ke pengungsian," paparnya.
Salah satu pengungsi asal Desa Muncan, Nyoman Parwata (45), mengungkapkan akan kembali ke pengungsian setelah selesai melaksanakan ritual upacara Galungan di desa.
"Saya akan kembali lagi nanti setelah selesai Galungan. Saya masih merasa takut berada di rumah karena statusnya masih siaga," kata Parwata.
Galungan merupakan salah satu hari suci besar umat Hindu di Pulau Dewata setiap enam bulan sekali. Galungan diperingati dengan melaksanakan persembahyangan di pura.
Selain itu, hari raya ini juga dimanfaatkan sebagai sarana berkumpul dan bertegur sapa dengan sanak keluarga pada Umanis Galungan atau sehari setelah hari suci Galungan.
Advertisement