Makna Jurnalistik Bagi Anak Milenial

Bagi anak SD di daerah, jurnalistik adalah sebuah dunia baru. Sebelumnya, hanya bisa menyaksikan tanpa mengerti bahwa itulah jurnalistik.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 08 Nov 2017, 23:00 WIB
Diterbitkan 08 Nov 2017, 23:00 WIB
cja school
Ekspresi peserta Citizen Journalist Academy Goes to School yang sangat antusias mengikuti. (foto: Liputan6.com/Febby BS/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - "Pemirsa, saat ini saya sedang bersama teman-teman SDN Pedurungan Tengah 02 Semarang. Di sini kami belajar jurnalistik bersama grand finalis Citizen Journalist Academy Semarang. Nayla Faiza melaporkan dari Semarang, Jawa Tengah," demikian suara lantang Nayla, siswa SD Pedurungan Tengah 02 Semarang ketika mempraktikkan menjadi seorang presenter.

Ia percaya diri tampil di depan teman-temannya. Ia tidak ingin kalah dengan para finalis kelas presenting Citizen Journalist Academy Energi Muda Pertamina (CJA) Semarang yang sedang berkunjung ke sekolahnya. Bertajuk Citizen Journalist Goes to School, acara diadakan di SDN Pedurungan Tengah 02, Semarang, Jawa Tengah, Selasa, 7 November 2017, diikuti sekitar 30 siswa.

Menurut Bayu Nugraha Putra Sandewa, grand finalis CJA Semarang kelas public relation, kegiatan ini bertujuan mengedukasi dan berbagi pengalaman seputar jurnalistik. Ia juga mengungkapkan harapannya bahwa para peserta nantinya diharapkan mampu memanfaatkan dunia digital untuk berlatih membuat karya jurnalistik.

"Peserta diperkenalkan dan diajarkan bagaimana menjadi seorang presenter, videografer, dan menjadi penulis yang baik," kata Bayu.

Grand Finalis CJA EMP Semarang Gina Mardani memberi materi tentang menulis kreatif. (foto: Liputan6.com/Febby BS/edhie prayitno ige)

Anak-anak kelas 4 dan 5 SD ini juga diminta mempraktikkan ilmu yang baru saja ditularkan. Mereka dibagi menjadi tiga kelas sesuai bidang yang diminati. Di kelas presenting, mereka mencoba mempratikkan menjadi seorang presenter. Secara bergantian mereka tampil di depan kelas.

Kelas videografi yang dibimbing oleh Asna Fredy Santoso dan Febby Budisantosa. Anak-anak SD itu diajari cara mengambil dan merekam gambar dengan benar. Secara detail diajari menentukan sudut pengambilan dan komposisi gambar yang memikat. Sedangkan di kelas menulis, para peserta diajari menulis cerita dan juga berita. Dalam kelas menulis kreatif ini, Gina Mardani Cahyaningtyas dan Zahid Arofat menjadi mentor.

Di penghujung kegiatan, dipilih tiga peserta terbaik di masing-masing kelas. Mereka mendapatkan hadiah menarik. Kegiatan yang sangat langka dilakukan ini disambut baik para siswa SD.

"Senang bisa belajar jurnalistik dari kakak-kakak Citizen Journalist Academy Semarang. Sebelumnya saya hanya bisa menonton berita di televisi tapi hari ini saya belajar bagaimana membuat sebuah berita. Ini dunia baru yang tak pernah terbayangkan," kata Canthi, salah satu peserta Citizen Journalist Goes to School.

Penulis : Zahid Arofat, grand finalis Citizen Journalist Academy Energi Muda Pertamina Semarang kelas menulis.

Kisah Finalis CJA Menolak Stres Akibat Putus Cinta

Kisah Febby Menolak Stress Akibat Putus Cinta
Febby Budisantosa memegang senjatanya berupa kamera sebagai penyaluran energi stressnya. (foto: Liputan6.com/CJA-EMP Semarang/edhie prayitno ige)

Minggu, 29 Oktober 2017, Febby Budisantosa berada di sebuah ruangan di kompleks Balai Kota Semarang, Jawa Tengah. Ia bersama 25 rekannya yang masih mahasiswa dan menjadi grand finalis Citizen Journalist Academy (CJA). Matanya menyapu seluruh ruangan, bahkan meneliti lipatan kursi yang sering diselipi bungkus permen atau sampah plastik lainnya.

Kamera di tangan, tripod di pelukan. Febby berjalan hendak memotret dan merekam Final Coaching Class yang diisi Azwar Anas, editor Liputan6.com. Mungkin karena tak hati-hati, kakinya terantuk kaki kursi.

"Wah ini de javu. Persis seperti tiga bulan silam," kata Febby pelan.

Sebelum ini, Febby memang mengikuti audisi CJA. Mengawali dari pendaftaran di tempat yang sama saat ia audisi dan akhirnya sukses mengikuti Final Coaching di tempat yang sama pula. Selama tiga bulan, ia menjadi akademia CJA dengan mengikuti kelas yang berpindah-pindah tempatnya.

Febby bercerita, saat mendaftar audisi ia tengah kehilangan semangat. Selain persoalan khas anak muda yakni asmara, ia merasa diremehkan oleh para dosennya. Febby mengalami krisis kepercayaan diri.

"Saya berangkat penuh ketidakpercayaan diri. Bayangkan ada seribu lebih mahasiswa berprestasi dari berbagai kota yang mendaftar, sementara saya ini apa," kata Febby dengan tatap mata menerawang langit-langit ruangan.

Pelan-pelan ia berhasil menyisihkan satu demi satu halangan. Dari 1.080 mahasiswa, akhirnya dipilih 30 mahasiswa dan Febby berada di dalamnya. Menurut Febby, itu semua karena kekuatan tangan Tuhan dan mengelola kenangan buruk.

Menurut psikolog RS Elisabeth, Probowatie Tjondronegoro, kadangkala nasihat untuk melupakan masalah itu justru akan menambah masalah dan stres.

"Yang terjadi, banyaknya nasehat itu malah semakin menjadi beban. Bukan menyelesaikan namun menambah masalah," kata Probowatie kepada Liputan6.com, Selasa, 31 Oktober 2017.

Febby mengiyakan pendapat Probowatie. Ketika putus dari pacarnya, awalnya Febby menganggap sebagai kiamat kecil. Namun dengan penerimaan diri, ia meyakini bahwa Tuhan sedang bekerja yang baik untuknya.

"Tangan Tuhan intervensi dalam karya-karya video saya. Dan itu membuat saya bisa bangkit dari keterpurukan," kata Febby.

Bergabung sebagai finalis CJA memang tak langsung membangkitkan rasa percaya dirinya. Namun, penilaian atas dirinya sendiri itulah yang membuat ia bisa diterima oleh teman-teman barunya, oleh mentor-mentornya. Ia menyerap energi positif dari semuanya itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya