Liputan6.com, Gorontalo - Pagi awal Ramadan, aroma rempah dan dedaunan segar menyebar ke seluruh halaman rumah Maryam di Kecamatan Suwawa, Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo.
Tangan-tangan cekatan para perempuan keluarga itu sibuk meracik bahan-bahan alami, mencampurkan kelapa parut dengan daun jeruk, pandan, kulit jeruk, serai, daun kunyit, dan nilam.
Advertisement
Baca Juga
Mereka tengah menyiapkan Bacoho, sebuah tradisi turun-temurun yang menjadi simbol penyucian diri sebelum bulan penuh berkah tiba.
Advertisement
"Ini bukan sekadar keramas biasa," kata Maryam sambil mengaduk campuran bahan di dalam wadah ember.
"Aromanya membawa ketenangan, dan ritualnya mengingatkan kami bahwa Ramadan adalah waktu untuk kembali bersih, baik lahir maupun batin," ujarnya
Bacoho bukan hanya tentang membersihkan rambut, tetapi juga sebuah warisan budaya yang menyimpan filosofi mendalam. Setiap bahan yang digunakan memiliki makna tersendiri.
Daun jeruk dan kulit jeruk melambangkan kesegaran dan kebersihan, pandan memberi keharuman alami, sementara serai dan kunyit dikenal karena manfaat kesehatannya.
Sementara Nilam, atau dalam bahasa Gorontalo disebut "Onumo", menambah aroma khas yang menenangkan.
"Kami memotong kecil-kecil semua daun, lalu mencampurnya dengan kelapa parut. Setelah itu, bahan-bahan ini dibakar di atas bara tempurung kelapa atau ditaburi bara hingga mengeluarkan aroma harum. Setelah hangat, ramuan ini dioleskan ke rambut dan dipijat perlahan," jelas Maryam.
Seorang gadis kecil berusia delapan tahun, cucu Maryam, duduk dengan mata berbinar saat sang nenek mengusap rambutnya dengan campuran ramuan tersebut.
Maryam bercerita, dahulu hampir setiap rumah di Gorontalo menjalankan tradisi ini. Namun, kini seiring dengan kemudahan akses terhadap produk perawatan rambut modern, Bacoho mulai jarang dilakukan.
"Sekarang orang lebih memilih sampo dan parfum buatan pabrik. Praktis, tapi kehilangan esensi," keluh Maryam.
Bagi mereka yang masih menjaga tradisi ini, Bacoho bukan sekadar ritual, melainkan sebuah nostalgia.
"Wangi Bacoho mengingatkan kami pada masa kecil, pada ibu dan nenek kami yang dulu melakukan hal yang sama. Saat Ramadhan tiba, aroma ini yang selalu kami rindukan," tambahnya.
Tak hanya keramas, masyarakat Gorontalo juga memiliki tradisi mandi dengan wewangian alami. Biasanya tradisi asli Gorontalo tersebut dilakukan di sumur hingga sungai dengan air mengalir.
"Untuk mandi, bahan yang digunakan hampir sama, tetapi tanpa kelapa. Air rendaman daun-daunan ini memberikan sensasi segar dan harum yang lebih tahan lama," jelas Maryam.
Meski perlahan mulai ditinggalkan, tradisi ini masih bertahan di beberapa keluarga. Maryam berharap generasi muda dapat kembali mengenali dan menghidupkan ritual penuh makna ini.
"Ramadhan bukan hanya soal puasa dan ibadah, tetapi juga bagaimana kita menghargai warisan leluhur yang penuh kearifan," pungkasnya.