Rahasia Kuno Nelayan Pantai Selatan Menari Bersama Badai Dahlia

Pengalamannya bertahun-tahun sebagai nelayan, mengajarinya menari bersama gelombang-gelombang tinggi, pun dengan badai dahlia

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 02 Des 2017, 05:02 WIB
Diterbitkan 02 Des 2017, 05:02 WIB
Perahu kecil nelayan pantai selatan Jawa menantang ganasnya Samudera Hindia. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Perahu kecil nelayan pantai selatan Jawa menantang ganasnya Samudera Hindia. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Sebagian besar dari belasan ribu nelayan di pesisir Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah memilih menyandarkan perahu menyusul gelombang tinggi yang terjadi di perairan selatan Jawa dan Samudera Hindia, sepekan terakhir, dipicu badai cempaka, dan kini badai dahlia.

Namun, tak begitu dengan Marno (53). Nelayan pantai selatan ini ogah takluk. Sebab, di mata pancing dan jaring-jaringnya itu, dapur keluarganya dipertaruhkan. Cita-cita dua dari empat anaknya yang masih bersekolah pun tertambat di perahu comprengnya.

Maka, ia pun nekat. Ia tetap menerabas ombak dan gelombang tinggi yang dapat menggulungnya sewaktu-waktu. Marno tak menyerah.

Sejak lahir, Marno terbiasa dengan kerang laut, cumi-cumi, dan asinnya ombak-ombak. Ia menyadari, laut bukan lah musuhnya. Pengalamannya bertahun-tahun sebagai nelayan, mengajarinya menari bersama gelombang-gelombang tinggi, pun dengan badai dahlia.

Marno tentu memiliki strategi dan perhitungan matang sebelum melaut. Ia menggunakan ilmu kuno, yakni jolokan. Jolokan, secara harfiah, adalah melaut dengan jarak tertentu, biasanya tak lebih dari 5 mil laut atau sekitar 9 kilometer.

Lebih dari itu, jolokan merupakan perpaduan strategi melaut berdasar perhitungan kalender naik dan pasang air laut dan intuisi tajam nelayan yang puluhan tahun dibesarkan di antara deburan ombak dan tajamnya karang.

 

Jolokan, antara Pengalaman dan Intuisi Nelayan

Hasil tangkapan nelayan udang tak begitu bagus lantaran cuaca buruk dan gelombang tinggi. Hanya beberapa ekor udang tiger. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Hasil tangkapan nelayan udang tak begitu bagus lantaran cuaca buruk dan gelombang tinggi. Hanya beberapa ekor udang tiger. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

"Ada batasan tertentu saat manusia dan perahu tidak bisa melawan kehendak alam. Lebih baik menyingkir," ujar Marno. Dan petuah itu selalu didengungkan para tetua nelayan, pada masa lalu.

Kearifan lokal nelayan, yang dipelajarinya puluhan tahun dan dipraktekkan di tengah laut membuatnya memiliki intuisi yang kuat. Ia dapat membaca tanda-tanda alam hanya berdasar suhu dan arah angin.

Saat memungkinkan, Marno berangkat melaut sekitar pukul 04.00 WIB. Atau, jika tak memungkinkan, ia baru menghela mesin diesel 48 PK-nya lebih lambat saat angin berangsur melambat, saat matahari mulai terang.

Pagi hingga siang hari, laut cenderung bersahabat bagi nelayan pantai selatan. Lebih dari enam jam ia berada di lautan. Saat matahari mulai condong ke sisi barat, ia harus memastikan seluruh alat tangkap telah rapi. Ia harus berpacu dengan waktu, sebelum gelombang tak terlawan datang dari tengah Samudera Hindia.

"Bagi nelayan ombak dan gelombang itu sahabat. Yang tidak bisa itu hujan. Kalau hujan, ikan dan udang tidak ada yang muncul," dia sedikit mengeluh lantaran hasil tangkapannya minim akibat terganggu hujan deras.

Hari ini, Marno hanya berhasil menangkap sekitar 3 kilogram udang jerbung, beberapa kilogram ikan layur, kembung dan ikan pari berukuran kecil. Ada pula ubur-ubur yang turut tertangkap.

Ribuan Nelayan Memperbaiki Alat Tangkap

Nelayan membawa hasil tangkapan ke TPI PPSC Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Nelayan membawa hasil tangkapan ke TPI PPSC Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Berbeda dengan Marno yang tetap nekat melaut, ribuan nelayan Cilacap lainnya memilih menambatkan perahu. Mereka memperbaiki alat tangkap, mendempul perahu, atau mencari pekerjaan lain di daratan.

Teuku Iskandar, Sekretaris Dewan Pengurus Cabang (DPC) Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Cilacap mengatakan, dibanding yang nekat melaut, jumlah nelayan yang tak melaut memang lebih banyak.

Hal itu dipengaruhi peringatan dini yang dikeluarkan Otoritas Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC) akan terjadinya gelombang tinggi dipicu oleh badai cempaka dan kini, badai dahlia.

"Ini saya juga sekalian servis perahu. Dengan adanya badai cempaka dan dahila ini," ucap Teuku.

Tetapi, ia pun mengakui, ada nelayan pantai selatan dengan perahu di bawah ukuran 7 groos ton (GT) yang nekat melaut, meski dengan jarak terbatas. Terutama di perairan yang terlindung Pulau Nusakambangan. Di luar itu, jarang nelayan yang berani melaut.

Pada mulanya, Pelabuhan Perikanan Samudera Cilacap (PPSC) memperingatkan agar nelayan tak melaut sampai Sabtu, pekan ini. Namun dengan munculnya badai dahlia, peringatan gelombang tinggi diperpanjang hingga pertengahan pekan depan.

"Kami dari HNSI ini juga mengimbau agar mereka berhati-hati untuk tidak melaut. Tetapi, karena mereka harus memenuhi kebutuhan sehari-hari terpaksa ada yang tetap melaut," ujarnya.

 

Kabar Badai Dahlia dan Cempaka

Nelayan kembali dari Laut Selatan Jawa melintasi selat Nusakambangan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).
Nelayan kembali dari Laut Selatan Jawa melintasi selat Nusakambangan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

Sementara, Kepala Kelompok Prakirawan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Pos Pengamatan Cilacap, Teguh Wardoyo mengatakan Jumat ini, badai dahlia terdeteksi di Samudera Hindia barat daya Jakarta, sekitar 555 km sebelah selatan tenggara Jakarta.

Tekanan terendah mencapai 998 mb. Badai bergerak dengan kecepatan 7 knot atau sekitar 13 kilometer per jam. Badai dahlia berpotensi memicu gelombang laut dengan tinggi 4-6 Samudra Hindia barat Lampung hingga selatan Jawa.

Ia pun memperingatkan agar pengguna transportasi laut dan nelayan tak memaksa untuk berlayar. Sebab, gelombang setinggi 6 meter berbahaya, baik untuk perahu besar maupun kecil.

Dia menambahkan, efek badai cempaka yang kini sudah melemah masih terasa di sejumlah daerah di pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah bagian selatan, Jawa Timur selatan, hingga Bali.

Pengaruh tersebut berupa kenaikan ketinggian gelombang di perairan dan potensi cuaca ekstrem di daratan. “Masih dapat memicu hujan deras disertai angin kencang,” Teguh menerangkan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya