Liputan6.com, Padang - Masyarakat Minang bisa berbangga hati karena Sumatera Barat (Sumbar) menjadi salah satu kota dengan ketimpangan pendapatan terendah kedua setelah Bangka Belitung.
Hal ini terukur dari angka gini rasio yang menggambarkan tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk berdasarkan kelas pendapatan yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) per September 2017 sebesar 0,312 pada Selasa, 2 Januari 2018.
Angka gini rasio Sumbar kalah dari Bangka Belitung yang bertengger di posisi pertama pada level 0,276.
Advertisement
Kepala BPS Perwakilan Sumatera Barat, Sukardi mengatakan berdasarkan catatan ada tren perbaikan rasio gini di Tanah Minang. Data tahun 2010, rasio gini Sumbar tercatat 0,325. Pada Maret 2017 lalu, angkanya juga sedikit lebih tinggi yakni 0,318.
"Tren ketimpangan Sumbar terus menurun," Sukardi menyebutkan.
Baca Juga
Berdasarkan tempat tinggal, gini rasio di perkotaan selalu lebih tinggi dibanding perdesaan. Pada September 2017, rasio gini perkotaan sebesar 0,309 atau turun 0,009 poin dibandingkan Maret 2017 sebesar 0,318 dan turun 0,003 poin dibandingkan periode sebelumnya di angka 0,312.
Sedangkan di wilayah perdesaan, meski secara umum menunjukkan tren penurunan, tetapi dalam kurun waktu satu tahun belakangan terjadi kenaikan tipis. September 2017 lalu, rasio gini bertengger di angka 0,288. Angka ini naik 0,012 poin dibanding Maret 2017 dan meningkat 0,021 poin dari capaian September 2016 sebesar 0,276.
Sementara itu Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi provinsi dengan pemerataan ekonomi paling timpang di level nasional. Angka gini rasio DIY sebesar 0,440.
Selain DIY, provinsi dengan ketimpangan tinggi lainnya adalah Sulawesi Selatan dengan rasio gini 0,429, Jawa Timur 0,415, DKI Jakarta 0,409, Gorontalo 0,405, Sulawesi Tenggara 0,404, Papua 0,398, Sulawesi Utara 0,394, dan Jawa Barat 0,393.
Â
Manfaat Budaya Merantau
Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menjelaskan mengenai fenomena rendahnya angka ketimpangan ekonomi di Sumatera Barat.
Menurutnya, ketimpangan ekonomi tersebut lantaran di Sumatera Barat tak ada lagi 'orang yang benar-benar kaya'.
Di sisi lain, Sumbar juga diyakini tidak memiliki 'orang yang benar-benar miskin'. Ia menyebutkan, tidak adanya konglomerat yang berdomisili di Sumbar disebabkan budaya merantau yang masih berjalan di Tanah Minang.
"Artinya, yang kaya-kaya pergi ke luar Sumbar. Yang kaya-kaya ke Jawa. Di Sumbar tersisa mereka yang jalankan industri rumahan," jelas Irwan.
Menurutnya, perekonomian masyarakat di Sumatera Barat banyak digerakkan oleh Usaha Mikro kecil dan Menengah (UMKM) dan industri rumahan lainnya. Bukan hal yang aneh bila kita mengenal orang Minang yang gemar berdagang.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Advertisement