Liputan6.com, Kupang - Jika Anda datang ke kota Kupang dan ingin mencari sebuah tempat bersejarah warisan warga Tionghoa, maka Anda bisa mengunjungi Rumah Abu atau Kelenteng Siang Lay yang terletak di kawasan Lahilai Bissi Kopan, Kecamatan Kota Lama, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Di kelilingi pertokoan, Kelenteng Siang Lay yang telah berumur 153 tahun itu seperti sebuah pohon sendana yang tumbuh di dalam hutan pinus. Berdirinya Kelenteng Siang Lay menjadi bukti awal mula hadirnya bangsa Tionghoa di Kota Kupang.
"Rumah Abu atau Kelenteng Siang Lay ini dibangun tahun 1865. Bangunan ini menjadi satu-satunya kelenteng yang tersisa di provinsi Nusa Tenggara Timur dan menjadi penanda kedatangan awal masyarakat Tionghoa," kata Ferry Ngahu, penjaga kelenteng tua kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Baca Juga
Ferry Ngahu merupakan penganut Protestan yang menikah dengan Yunni Lay, seorang perempuan keturunan Marga Lay. Keduanya, kini menjaga Kelenteng Siang Lay ini.
Dari namanya, Siang Lay berarti Marga Lay. Jadi Kelenteng Siang Lay berarti kelenteng milik marga Lay. Kelenteng tua ini awalnya didirikan oleh dua ahli tukang bangunan yang berasal dari Marga Lay, yaitu Lay Foetlin dan Lay Lanfi.
Sejak dibangun tahun 1865, kelenteng ini beberapa kali telah mengalami renovasi. Tahun 1945, karena terjadi peperangan, bangunan ini mengalami kerusakan dan harus direnovasi.
"Perang tahun 1945 membuat bangunan ini rusak. Kerusakannya memang tidak terlalu parah. Hanya dua kuda-kuda yang rusak dan telah diperbaiki. Sengnya pun telah diganti dengan seng yang baru. Namun, secara keseluruhan, bangunan ini masih asli, dari pintu, tiang, dan bagian-bagian lainnya," kata Ferry.
Â
Simak video pilihan berikut ini:
Â
Tempat Pemujaan Leluhur
Tahun 1976 bangunan ini kembali dipugar. Kali ini, pada bagian depan kelenteng ditambah teras. Renovasi kembali terjadi pada tahun 2007, dan ada keunikan yang ditemukan pada renovasi kali ini.
Ferry bercerita, sewaktu dilakukan renovasi oleh para tukang, ditemukan bahwa bangunan besar ini rupanya dibuat tanpa ada konstruksi baja.
"Jadi pakai beton saja. Kayunya pun tidak pernah dimakan rayap," kata Ferry.
Tentang dinding bangunan, ia menjelaskan ada batu laut yang dipotong menyerupai batu bata. Batu itu lalu disusun. Ketebalan dinding dari batu laut itu sekitar 30 sentimeter.
"Itulah kehebatan para leluhur dulu. Mereka telah menciptakan sesuatu yang sangat berharga dan kuat," katanya.
Jika dalam pemberitaan beberapa media dikatakan bahwa kelenteng tua itu telah beralih fungsi menjadi rumah abu, hal itu tidak dibenarkan Ferry.
"Pada awalnya bangunan ini didirikan hanya sebagai rumah abu. Fungsinya untuk mendoakan arwah leluhur. Waktu dulu keberadaan Rumah Abu ini mungkin agak sulit diterima. Maka dibawa ke salah satu kelenteng untuk masuk dalam agama Buddha. Ini kan Konghucu," jelas dia.
Jika Anda berkesempatan menyinggahi bangunan tua itu, dan berkeliling melihat isi bangunan, Anda bisa temukan di tempat paling depan terpampang sebuah tulisan dalam bahasa Tionghoa.
Tulisan itu adalah nama-nama leluhur keluarga Lay yang telah meninggal, ditempatkan tepat di belakang sebuah meja besar yang dibubuhi dua buah lilin besar.
"Kami selalu mendoakan arwah mereka. Jadi bangunan ini adalah tempat di mana kami mendoakan arwah leluhur kami yang telah meninggal," Ferry menandaskan.
Advertisement