Liputan6.com, Semarang Desa Geneng yang berlokasi di Kecamatan Prambanan, Klaten, Jawa Tengah baru setahun terakhir memproduksi tempe secara mandiri. Makanan berbahan dasar kedelai ini pun diolah menjadi bukan tempe biasa.
Masyarakat yang sebagian besar terdiri dari kaum ibu berkutat dengan pembuatan tempe di bawah payung bernama Rumah Tempe Srikandi Geneng. Echosari, demikian mereka menamai produk andalannya.
Tempe Echosari tidak diproduksi setiap hari. Pasalnya, pembuatan tempe membutuhkan proses yang tidak instan. Butuh empat tahap dalam empat hari dari proses bahan baku kedelai sampai dengan pengemasan.
Advertisement
Baca Juga
Tahap pertama adalah proses bahan baku, menyortir kedelai, kemudian mencuci. Tahap kedua, kedelai direndam direbus, lalu direndam kembali.
Tahap ketiga meliputi pemisahan kulit ari kedelai, pencucian kedua, lalu ditiriskan. Tahap keempat yakni peragian, pengemasan, dan fermentasi.
"Dalam peragian, suhu harus stabil supaya hasilnya baik, sekitar 30 derajat Celcius," ujar Selly Marfiana, Ketua Rumah Tempe Srikandi Geneng, Kamis, 5 April 2018. Rumah Tempe Srikandi Geneng memproduksi 20 kilogram kacang kedelai untuk pembuatan tempe.
Tempe Echosari bisa bertahan selama tiga hari. Apabila dimasukkan ke dalam kulkas masih dapat dikonsumsi sampai hari ketujuh.
Â
Keunggulan Tempe Echosari
Dari segi bentuk, tempe Echosari memang terlihat putih bersih. Hal ini karena proses pencucian dilakukan dua kali. Harganya memang lebih mahal ketimbang tempe kebanyakan. Akan tetapi soal kualitas tidak perlu diragukan.
"Pembuatannya kami menerapkan standar kebersihan dan kesehatan," ucap Selly.
Standar yang dimaksud adalah saat mengolah tempe harus menggunakan masker dan sarung tangan. Demikian pula saat penggilingan, mereka menggunakan alat sehingga tidak diinjak dengan kaki seperti pembuatan tempe tradisional.
Tempe Echosari dikemas di dalam plastik berukuran 12x22 sentimeter dengan berat 250 gram. Satu bungkus dijual Rp 3 ribu.
Â
Advertisement
Memperlus Pemasaran
Harga jual yang lebih tinggi termasuk kendala memasarkan tempe Echosari. Sejauh ini pemasaran masih di sekitar desa.
Meskipun demikian, Sally mengaku sudah mengantongi PIRT sejak Februari lalu dan berencana untuk memasukkan tempe Echosari ke toko modern.
Rumah Tempe Srikandi Geneng lahir dari dorongan dan pendampingan PT Sarihusada Generasi Mahardhika. Tujuannya, memberdayakan masyarakat untuk membuat tempe.
Rumah Tempe Srikandi Geneng diproyeksikan menjadi percontohan pembuatan tempe yang higienis dan sehat. Klaten memang identik dengan tempe. Makanan itu pertama kali disebut di Serat Centhini berasal dari Bayat, Klaten.