Kenalkan Fatah, Penyelamat Buaya di Tanah Jawa

Muasal kecintaan Fatah kepada buaya berawal dari kisah belasan tahun lampau. Syahdan, suatu malam...

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 12 Apr 2018, 09:03 WIB
Diterbitkan 12 Apr 2018, 09:03 WIB
Fatah Arif Suyanto, pemilik penangkaran buaya Dawhan Kulon, Kedungbanteng, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Fatah Arif Suyanto, pemilik penangkaran buaya Dawhan Kulon, Kedungbanteng, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banyumas - Perawakannya sedang-sedang saja. Pembawaannya pun kalem. Namun, siapa sangka, dia adalah seorang ahli buaya yang kini menangkarkan berbagai jenis reptil ganas tersebut di Kedungbanteng, Banyumas, Jawa Tengah.

Namanya Fatah Arif Suyanto (46). Akrab dipanggil Fatah, ada pula yang memanggilnya Yanto. Dialah satu-satunya orang di Jawa Tengah dan Yogyakarta pemilik penangkaran buaya berizin.

Di kolam-kolam di area seluas 1.000 meter persegi, kini ia memelihara, atau lebih tepatnya menangkarkan berbagai jenis buaya, mulai dari buaya muara, buaya Papua, dan buaya Senyulong.

Total, ia memelihara 26 ekor buaya. Dua buaya dibelinya dari penangkaran Blanakan, Subang, Jawa Barat. Adapun 24 buaya lainnya merupakan titipan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Ia rela menghabiskan pikiran, waktu, tenaga, dan mengeluarkan tak sedikit biaya untuk menyelamatkan buaya, yang dikategorikan sebagai satwa liar dilindungi ini.

Saksikan video menarik di bawah ini:

Fatah, Penyayang Binatang yang Jatuh Cinta pada Reptil

Penangkaran buaya menjadi tempat favorit yang banyak dikunjungi anak-anak sekolah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Penangkaran buaya menjadi tempat favorit yang banyak dikunjungi anak-anak sekolah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Muasal kecintaan Fatah kepada buaya berawal dari kisah belasan tahun lampau. Syahdan, suatu malam, ia mengendari sepeda motor pulang dari pekerjaannya ke Kampungnya di Dawuhan Kulon Kecamatan Kadungbanteng, Banyumas.

Dari kejauhan, matanya menangkap sesosok benda menggelepar-menggelepar di tengah jalan. Rupanya, benda itu adalah ular sanca kembang.

Saat didekati, mendadak ular itu diam. Lama ia memperhatikan ular di tengah jalan itu dengan sorotan lampu sepeda motornya.

Seolah, ular sanca sepanjang 2,5 meter itu meminta belas kasihan. Saat diperhatikan dengan seksama, rupanya ada kutu sebesar hewan lembing, kira-kira berukuran 0,5 centimeter, menempel kuat di batok kepala si ular.

Tubuh ular itu sudah kurus dan lemah. Kutu yang menempel di kepalanya menyedot otak ular.

"Kutu ular bisa menempel di seluruh badan ular. Tapi, bagian favoritnya adalah batok kepala. Karena makanan favoritnya adalah otak ular,” dia menjelaskan, Selasa, 10 April 2018.

Ia pun jatuh kasihan. Lantas dipanggilnya seorang kawan untuk membantu mengevakuasi ular sana sanca kembang batik itu ke rumahnya.

Awal Mula Berkenalan dengan Buaya

Fatah dan dua asistennya merawat dan memberi makan buaya di penangkaran buaya, Kedungbanteng, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Fatah dan dua asistennya merawat dan memberi makan buaya di penangkaran buaya, Kedungbanteng, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Tak mudah melepas kutu ular yang tertancap kuat di batok kepala. Ia terpaksa menggunakan gunting kuku. “Saya ambil gunting kuku, kemudian saya tarik, tubuh kutunya malah patah,” dia menambahkan.

Lantaran luka yang dideritanya, tubuh si ular bertambah lemah. Maka, Fatah pun memeliharanya hingga sehat. Tiap waktu, ia mengobati luka si ular dan memberi makanan. Setelah membaik, ia lantas melepas ular itu ke habitatnya di semak-semak pinggir hutan sekitar lereng Gunung Slamet.

Sejak saat itu, ia jatuh hati dengan reptil. Kisah ular yang meminta tolong kepada manusia selalu membayanginya, bahwa dia dan hewan melata itu sama-sama makhluk Tuhan yang semestinya saling menjaga.

Fatah, kesehariannya adalah pemborong di bidang konstruksi. Lainnya, ia kerap membantu sebuah perusahaan entertainment. Pekerjaan itu membuatnya melanglang ke berbagai daerah, baik di Pulau Jawa, maupun luar Jawa.

Suatu ketika, ia dikenalkan dengan seseorang yang hendak menyerahkan buaya. Barangkali bosan, atau lebih tepatnya menyerah. Singkat cerita, buaya itu beralih pemilik. Ia pelihara baik-baik buaya itu.

Bagi kebanyakan orang, memelihara buaya bukanlah hal yang lumrah. Nama Fatah si pemelihara buaya pun cepat kondang. Bukannya untung, ia justru mendapat masalah. Rupanya ketenaran Fatah memelihara buaya sampai juga di telinga BKSDA Jawa Tengah.

"Waktu didatangi petugas BKSDA, saya baru tahu kalau menangkarkan buaya itu harus berizin. Karena ini adalah hewan liar dilindungi," dia menerangkan.

Kedatangan Buaya-Buaya Ganas di Penangkaran Buaya Kedungbanteng

Buaya Sinyulong di Penangkaran Buaya Kedungbanteng, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Buaya Sinyulong di Penangkaran Buaya Kedungbanteng, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Saat itu, ia pun berjanji untuk mengurus izin penangkaran. Ternyata, tak mudah untuk mendapatkannya. Butuh waktu panjang untuk melengkapi persyaratannya.

"Setelah dapat izin, saya kemudian membeli dua ekor buaya F2 dari penangkaran Blanakan, Subang, Jawa Barat," tuturnya.

Secara berturut-turut, ia lantas dititipi buaya oleh BKSDA, baik buaya sitaan maupun penyerahan sukarela dari masyarakat. Ia pun, resmi menjadi mitra BKSDA Jawa Tengah.

Secara berturut-turut, pada Februari 2018 lalu, ia dititipi delapan ekor buaya. Lantas, pada bulan Maret, datang lagi buaya dari dari Jawa Tengah dan Yogyakarta. Terbaru, April, sepekan lalu, dua ekor buaya kembali dititipkan BKSDA di penangkaran Fatah.

BKSDA menitipkan buaya ke penangkaran berizin atau kebun binatang lantaran tak memiliki anggaran untuk memelihara dalam jangka panjang. Bisa dibilang, Fatah adalah penyelamat buaya-buaya itu.

"Sekarang total ada 26 ekor buaya," dia menjelaskan.

Dari Mana Biaya Memberi Makan 26 Ekor Buaya?

Buaya Papua di Penangkaran Buaya Kedungbanteng, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Buaya Papua di Penangkaran Buaya Kedungbanteng, Banyumas. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Tak mudah untuk memelihara apalagi menangkarkan buaya. Hewan yang di alamnya diklasifikasikan sebagai predator puncak itu adalah jenis hewan liar dan ganas. Perlu kehati-hatian tingkat tinggi dan kemampuan yang mumpuni.

Buaya-buaya itu, perlu juga diberi makan. Favoritnya adalah daging. Padahal, daging adalah komoditas mahal di Indonesia.

Ada untungnya, sekitar Dawuhan Wetan banyak peternak ayam pedaging. Dari ratusan ribu ekor yang dipelihara, pasti ada ayam yang kerdil atau afkir.

Kadangkala ada pula anak kandang yang mengirim ayam yang baru mati, sehingga dagingnya segar. Dibelinya ayam itu dengan harga murah. Dari situ, Fatah bisa mengurangi anggaran belanja pakan.

Namun, tetap saja, tiap bulan, ia membutuhkan uang antara Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta lebih untuk membeli pakan buaya.

"Makanya, ke depan saya ingin agar ini dikembangkan sebelum sampai ke penangkaran yang menghasilkan, ya bisa menjadi tempat wisata. Agar ada pemasukan untuk membantu membeli pakan buaya," dia menambahkan.

Meski hingga kini belum menghasilkan, ia tetap berkomitmen penuh untuk memelihara dan menangkarkan buaya. Ia yakin, suatu hari nanti, buaya-buaya itu akan menghasilkan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya