Â
Liputan6.com, Jakarta - Padi dan jagung adalah dua komoditas strategis dalam upaya swasembada pangan. Padi yang hasilnya berupa beras adalah pangan primer bagi masyarakat negeri ini. Sementara jagung adalah unsur utama pakan unggas dan campuran konsentrat ternak potong atau perah besar yang outputnya mampu menghela kecukupan protein hewani berupa daging dan susu.
Dalam perkembangannya, rerata produktivitas jagung melampaui padi. Dari mulai tahun 2009 hingga 2015, kenaikan produktivitas jagung (ton per hektare) 3,62 persen. Sementara padi sawah irigasi produktivitasnya tidak beringsut dari angka 1,27 perrsen.
Advertisement
Ketua Kompartemen Tanaman Pangan Asbenindo (Asosiasi Perbenihan Indonesia) Yuana Leksana, menjelaskan bahwa tren kenaikan produksi jagung dan padi nasional lebih banyak disumbang dari luas panen.
Baca Juga
"Khusus untuk padi tahun 2016 dan tahun 2017 terpapar data bahwa angka produktivitas untuk padi negatif 2,0 persen dan dan negatif 1,5 perse%. Namun untuk jagung positif 2.4 persen (2016) dan negatif 1,5 persen (2017)," jelasnya, dikutip dari keterangan resmi, Sabtu (14/7/2018).
Sejauh ini upaya menaikkan angka produktivitas itu melalui teknologi. Jika dilihat dari penggunaan benih padi dewasa ini, 30,44 persen petani di Indonesia masih menggunakan varietas Ciherang yang sudah dilepas 18 tahun silam (2000). Semetara pemerintah telah mendorong penggunaan benih bermutu dan varietas unggul melalui Subsidi Benih melalui Bantuan Benih Pemerintah.
"Nah, teknologi padi hibrida sejatinya dapat menjadi salah satu upaya dari pemerintah untuk dapat meningkatkan angka produktivitas yang terbukti berhasil di komoditas jagung dengan program perluasa hibridisasinya," tambah Yuana.
Perkembangan padi hibrida tidak pesat karena keterbatasan importasi untuk mendapatkan benih hybrid yang sesuai dengan agrolimat Indonesia.
"Industri benih itu dalam satu hektare hanya mendapatkan benih komersial paling banyak 1,5 ton. Bayangkan jika ada perminataan dari masyarakat tani Indonesia, pasti akan membutuhkan petani mitra penangkar benih yang jauh lebih banyak dan itu menguntungkan Indonesia," jelas Yuana.
Bagi Asbenindo, semoga Permentan 127/2014 tentang pemasukan dan pengeluaran benih dapat kembali menjadi acuan agar pemerintah, swasta dan petani sama-sama mendapatkan kemanfaatan yakni tercukupinya benih hibrida unggul bersertifikat untuk mendorong angka produktivitas menjadi positif.
Saat ini, penggunaan padi hibrida secara nasional masih di bawah 1 persen. Sedangkan di banyak negara Asia seperti China, India, Bangladesh dan Filipina, benih padi hibrida sudah menjadi pilihan utama untuk pacu produktivitas.
Direktur Eksekutif Suara Petani Institute Tony Setiawan menjelaskan, ada tren petani sulit mendapatkan benih padi hibrida, padahal mereka sudah merasakan peningkatan produksi.
"Pemerintah sepatutnya konsisten untuk memacu pengembangan industri benih padi hibrida tumbuh di Indonesia. Jika tidak, yang rugi kan petani juga karena mereka tidak mendapatkan kepastian benih yang diproduksi industri padahal sudah dilepas pemerintah," katanya.