Liputan6.com, Purwokerto - Pada bulan ini, petani di sejumlah daerah di Banyumas, Jawa Tengah, dan wilayah sekitarnya telah memulai panen raya masa tanam pertama (MT 1). Mereka pun bersiap mempersiapkan lahan untuk tanaman musim kedua (MT 2).
Beragam metode tanam digunakan untuk memacu agar hasil panen padi melimpah. Mulai tanam teknis tradisional, jejer legowo, hingga teknik The System of Rice Intensifications (SRI).
Masa tanam kedua, petani di kawasan sawah tadah hujan atau marginal, berhadapan dengan minimnya sumber pengairan. Mereka pun beradu cepat dengan kemarau yang biasanya tiba pada akhir Juni atau Juli.
Advertisement
Baca Juga
Harapannya, saat kemarau tiba, tanaman padi telah berbuah atau setidaknya telah dewasa, sehingga relatif resisten terhadap cekaman kekeringan. Sayangnya, sering kali hasil panen padi jauh dari yang diharapkan.
Sebab itu, petani tadah hujan pun memilih varietas padi jenis cere atau hibrida yang berumur pendek dan dipadukan teknik tanam tertentu. Terutama agar tanaman padi mereka tetap menghasilkan panen melimpah pada musim kemarau.
Untuk meningkatkan pendapatan petani di kawasan tadah hujan, Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto mengembangkan teknologi Salibu Jarwo Super, yakni teknik tanam yang memungkinkan petani panen padi setidaknya dua kali dengan hanya tanam padi sekali.
Penerapan Teknologi Salibu Jarwo Super
Pada teknik ini, petani memanfaatkan tunas yang keluar dari bonggol tanaman padi yang telah dipanen. Untuk memastikan tunas tumbuh dengan baik, bonggol padi harus dikeperas nyaris rata dengan tanah, menyisakan sekitar 5 centimeter bonggol padi.
Dari bonggol itu, tunas baru akan beregenerasi dan dimanfaatkan sebagai tanaman baru, tanpa pengolahan lahan lagi. Dengan teknik ini, masa pengolahan lahan dan penyemaian benih dapat dipangkas hingga 1,5 bulan, dengan hasil panen nyaris menyamai hasil panen dengan menggunakan benih baru.
Pengembang teknik Salibu Jarwo Super, Prof. Totok Agung Dwi Haryanto menerangkan, teknik ini merupakan penyempurnaan dari teknologi Salibu yang telah dikembangkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Kementerian Pertanian.
Produksi padi dilakukan dengan menumbuhkan kembali tunas rumpun padi yang sebelumnya dibudidayakan secara Jarwo Super secara intensif dengan melibatkan pupuk hayati, biodekomposer, pengendaliah hama dan penyakit terpadu.
"Hasil panen ini dapat diperoleh tanpa petani perlu melakukan pengolahan lahan, persemaian, dan pindah tanam yang membutuhkan banyak waktu, biaya, dan tenaga kerja sebagaimana umumnya bercocok tanam padi," ucap Totok, dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, beberapa waktu lalu.
Advertisement
Varietas Padi yang Direkomendasikan
Demi capaian hasil yang maksimal, komponen teknologi utama ini dikombinasikan dengan penggunaan varietas unggul padi. Antara lain, toleran kekeringan, berdaya hasil tinggi, memiliki ketahanan terhadap hama dan penyakit, responsif terhadap teknik budi daya salibu, dan pupuk organik.
Totok menerangkan, beberapa varietas padi yang potensial untuk dibudidayakan secara salibu di antaranya adalah Inpago Unsoed 1. Varietas yang dikembangkan Unsoed ini terbukti mampu berproduksi lebih tinggi dibandingkan dengan padi varietas Mekongga dengan cara tanam pindah biasa.
“Dicoba pada pertanian terpadu di Desa Gandrungmanis Kecamatan Gandrungmangu Kabupaten Cilacap,” kata Totok, yang juga Direktur Program Pascasarjana Unsoed.
Produktivitas lahan meningkat dari semula 4-4,7 ton per hektare untuk padi menjadi 8-10,5 ton hektare. Pada masa tanam kedua, produktivitas mencapai 6,5 ton per hektare dengan sistem salibu dengan efisiensi biaya produksi sebesar Rp 3,4 juta per hektare.
Verietas padi Inpago 1 ini diklaim juga tahan terhadap kekeringan, daya hasil yang tinggi di lahan kering maupun di lahan sawah, tahan terhadap wereng batang coklat biotipe 1 dan blas leher batang ras 133 serta responsif pupuk.
Dan yang lebih penting lagi, daya regenerasi varietas Inpago 1 tercatat lebih dari 95 persen. Karenanya, padi ini berpotensi mendekati hasil panen pada saat dibudidayakan secara tanam pindah.
“Galur padi protein tinggi yang dihasilkan oleh peneliti Unsoed juga sebelumnya terbukti memliki daya regenerasi tinggi, sehingga mampu berproduksi tinggi jika dibudidayakan secara salibu,” Totok memaparkan.
Varietas unggul padi lain yang juga potensial dikembangkan secara salibu di antaranya adalah Inpari 24, Inpari 32 dan Situbagendit, yang dihasilkan oleh Balitbangtan, seperti yang diujicobakan di Desa Karangtengah, Kecamatan Kemangkon, Kabupaten Purbalingga.
Aplikasi Bioprotektor dan Pestisida Nabati
Sekretaris Pusat Penelitian Tanaman Padi dan Kedelai LPPM Unsoed, Dyah Susanti menambahkan, untuk menunjang penerapan teknologi salibu jarwo super agar berdaya hasil maksimal, petani bisa mengaplikasikan penyemprotan bioprotektor dan mekanisasi.
Biopretektor merupakan biopestisida nabati hasil penelitian Balitbangtan yang fokus pada perlindungan tanaman. Sebab, teknik salibu jarwo super mensyaratkan kondisi tanaman padi yang sehat untuk dapat ditumbuhkan kembali tunasnya untuk pertanaman berikutnya.
Pengendalian hama dan penyakit tanaman menggunakan bioprotektor inovas DR Wiratno, yang juga merupakan alumni Fakultas Pertanian Unsoed ini telah terbukti mampu mencegah, mengendalikan, dan meningkatkan ketahanan tanaman padi yang dibudidayakan secara Jarwo Super. Dengan kondisi itu, secara fisik tanaman berada dalam kondisi siap untuk ditumbuhkan tunasnya.
“Karena serangan wereng petani Desa Karangtengah yang mengaplikasikan biopreotektor tetap bisa panen dengan penurunan hasil yang tidak terlalu besar, kurang dari 30 persen. Tanpa penggunaan bioprotektor, petani di sekitar lokasi percobaan kehilangan hasil 50 persen hingga 90 persen, bahkan ada yang mengalami gagal panen,” Dyah menjelaskan.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement