Liputan6.com, Kupang - Seekor paus yang diduga paus balin atau paus bungkuk (Megaptera novaeangliae) terdampar di Pantai Liwung Pireng, Desa Kolidetung, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Paus yang berukuran panjang sekitar 18 meter itu mati dan menjadi bangkai.
Paus yang diduga telah terdampar seminggu ini mulai membusuk dan hanya tersisa bagian badan. Bagian kepalanya pun tidak ditemukan, meski petugas telah mencari sepanjang pantai.
Advertisement
Baca Juga
Seorang warga Desa Hepang, Blasius Lincianus Nong mengatakan mamalia laut raksasa itu terdampar sejak Rabu sore, 25 Juli 2018, usai terjadinya gelombang besar setinggi 6 meter yang menerjang pantai.
"Sore itu ada warga yang melihat paus di pantai, tetapi tidak ada yang berani mendekat soalnya gelombang sangat tinggi. Lagi pula lokasi tempat terdampar tersebut diyakini warga sebagai tempat keramat jadi warga takut," ucap Blasius kepada Liputan6.com, Jumat, 3 Agustus 2018.
Dia menjelaskan, isi perut paus tersebut berserakan di pesisir pantai dan sebagiannya terseret gelombang.
"Sudah dua kali paus terdampar di lokasi ini. Pertama sekitar tahun 70-an dan yang terakhir awal tahun 90-an. Dan dua kasus ini, paus yang terdampar sudah mati terlebih dahulu baru terbawa gelombang ke pesisir pantai,” tutur Blasius.
Marselinus Yosef, warga Desa Hepang mengakui bahwa sejak Minggu siang, 29 Juli 2018, beberapa warga desa mendatangi lokasi. Mereka mengambil tulang bagian badan dan leher sebanyak 8 lembar berukuran besar dan dibawa menggunakan gerobak.
Tulang paus mudah diambil karena bangkainya sudah lembek dan tulang rusuknya pun mudah terlepas. Ia memperkirakan paus tersebut sudah sekitar seminggu terombang-ambing di laut sebelum terdampar di pantai tersebut.
“Kami mengambil tulang paus ini untuk dijadikan cendera mata dan kenang-kenangan. Saya ambil yang di bagian leher berbentuk bulat dan bisa dipergunakan untuk dijadikan kloset WC," ujarnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Cemari Laut
Evi Odjan Aktivis Missol Baseftin cabang Larantuka, Evi Odjan menyarankan agar bangkai paus harus dikuburkan agar tidak mencemari lingkungan. Masyarakat juga diminta tidak mendekati bangkai paus itu.
Dia mengatakan, bangkai paus tersebut pasti mencemari laut karena bakteri dalam usus dan daging paus. Air laut bakal menyerap bahan cemar dari bangkai itu bila melewati ambang batas perairan.
"Kandungan kimia dalam struktur air laut memiliki kemampuan menetralkan kestabilan perairan, sehingga jika jumlah bahan cemar tidak melewati ambang batas, maka laut akan tercemar," jelas Odjan.
Selain itu, kata dia, satwa laut pemakan bangkai bakal mengonsumsi usus dan daging yang telah terkontaminasi bakteri. Satwa laut yang ikut memakan bangkai tersebut dan bersifat pemakan filter feeders seperti hiu paus dan pari manta akan menyerap bakteri dalam bangkai tersebut.
Dikhawatirkan jika kandungan bakterinya sangat tinggi dalam bangkai, maka akan masuk rantai makanan termasuk jenis ikan yang dikonsumsi masyarakat.
Camat Lela, Ricardus Piterson mengaku sudah mengetahui dan melihat langsung paus terdampar sejak Rabu, 25 Juli 2018. Namun, pihaknya kesulitan mengevakuasi. Sebab, bangkai paus berada di atas bebatuan di pesisir pantai dan kondisi tubuh sudah hancur.
Dia menjelaskan, dalam kurun waktu 7 bulan terakhir tercatat dua ikan hiu paus (Rhincodon typus) terjaring pukat nelayan di Sikka.
Ikan dengan sebutan lokal hiu bodoh itu, terperangkap jaring nelayan dalam kondisi hidup. Kemudian hiu tersebut ditarik ke darat dan dibiarkan selama 2,5 jam hingga mati ,lalu disembelih dan dagingnya dibagikan kepada masyarakat yang memberikan imbalan uang secara sukarela.
Sementara di Kabupaten Ende, seekor paus berukuran panjang sekitar 15 meter dan lebar sekitar 3 meter ditemukan warga terdampar di Pantai Bitan, Kota Ende, Kabupaten Ende, pada Sabtu, 19 Agustus 2017.
Paus tersebut ditemukan mati dan sekujur tubuhnya berwarna hitam yang diduga terkena bom nelayan di Pulau Ende.
Advertisement