Kisah Mahasiswi Difabel dan Ibunya Berjuang Menggapai Mimpi

Anisa, sang mahasiswa difabel, dan juga ibundanya, memiliki mimpi setinggi langit. Keduanya berjuang meraihnya.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 28 Jan 2021, 23:12 WIB
Diterbitkan 03 Sep 2018, 09:32 WIB
Anisa dan ibunya, Teti, ketika mengikuti sesi OPEK di kampusnya, di Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).
Anisa dan ibunya, Teti, ketika mengikuti sesi OPEK di kampusnya, di Cilacap, Jawa Tengah. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

Liputan6.com, Cilacap - Teti Rohayati (42) langsung sigap ketika tutor di ujung mikrofon mengumumkan agar mahasiswa segera masuk ke aula kampus. Ia merengkuh anak kesayangannya, Anisa Rizkiani Wulandari (19), yang difabel dan menggendongnya ke dalam ruangan.

Lantas, dengan sabar Teti mencarikan tempat duduk dan menempatkan Anisa di kursi paling depan. Ia ingin anaknya bisa mengikuti dengan baik masa orientasi dan pengenalan kompetensi di kampusnya, STMIK Komputama Majenang, Cilacap, Jawa Tengah.

Pada sesi materi, Teti keluar dari aula. Namun, ia tak pergi jauh-jauh. Begitu dibutuhkan, ia pun secepat kilat mendekati putrinya.

Anaknya, Anisa, difabel lantaran kakinya tak normal. Teti mesti menggendong Anisa saat berpindah tempat. Tidak hanya itu saja, seringkali Teti mesti menunggu Anisa di sesi-sesi tertentu.

Bagi sebagian orang, pemandangan ini barangkali membuat terenyuh. Namun, jangan salah, lihatlah betapa semangatnya Anisa dan ibundanya. Mereka begitu kompak melalui hari-hari melelahkan ini.

Anisa dan ibunya pun tak kalah cerah dibanding wajah-wajah semringah yang memenuhi ruangan aula kampus STMIK pada Sabtu dan Minggu, 1-2 September 2018. Para mahasiswa mengikuti orientasi menjelang tahun ajaran baru kampus di ujung barat Cilacap ini.

Kampus adalah bagian dari rencana masa depan mereka. Dengan berkuliah, mahasiswa-mahasiswa ini hendak meraih mimpi. Dan Anisa, sang mahasiswa difabel, serta ibundanya, memiliki mimpi yang sama.

 

Ibunda Mengantar dan Menunggu Ketika Anisa Bersekolah

Sejak SMP hingga kuliah, Teti sabar mengantar, menggendong dan menunggui putrinya yang difabel, Anisa. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).
Sejak SMP hingga kuliah, Teti sabar mengantar, menggendong dan menunggui putrinya yang difabel, Anisa. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo).

Anak pertama pasangan Daswa (44) dan Teti ini memang tumbuh dengan kondisi difabel. Namun, keterbatasan fisik tak menjadi masalah baginya. Warga Dusun Rambutpala RT 1 RW 7 Desa Sadabumi Kecamatan Majenang itu tetap bersemangat mengikuti tiap sesi.

"Mau pindah digendong, geser juga harus digendong," ucap Teti. Tak tampak secuil pun nada malas atau menyesali nasib.

Rupanya, kebiasaan mengantar, menggendong, dan mendampingi anaknya ini sudah dilakukan sejak Anisa masuk SMP Negeri 4 Majenang. Tiap hari, Teti mesti menggendong anak pertamanya saat berangkat maupun pulang sekolah.

Padahal, tak mudah untuk mencapai sekolah dan kampusnya, sekarang. Desa Sadabumi adalah desa yang berada di pelosok Kecamatan Majenang dengan medan menanjak ekstrem. Jaraknya pun cukup jauh, kisaran 15 kilometer dari pusat kota.

Angkutan yang tersedia terbatas. Biasanya, mereka menumpang pikap. Tak hanya itu, selama Anisa belajar, Teti pun menunggu di lingkungan sekolah.

"Dari SMP sudah biasa seperti ini. Antar jemput naik mobil bak dan digendong," dia menerangkan.

Beruntung, kondisi serba terbatas tak membuat Anisa berhenti bermimpi. Ia ingin menuntut ilmu setinggi langit.

Belajar Meraih Mimpi

Anisa dan ibunya, Teti bersama dengan mahasiswa lain dan pimpinan kampus. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Anisa dan ibunya, Teti bersama dengan mahasiswa lain dan pimpinan kampus. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Teti pun mengakui, semangat belajar anaknya memang luar biasa. Ini terlihat sejak Anisa berumur 5 tahun. Anisa memaksa agar masuk SD Negeri 02 Sadabumi. Pun saat lulus SMP dan meminta didaftarkan di MA Negeri Majenang.

"Selalu dia yang meminta. Semangat belajarnya memang tinggi," Teti menuturkan.

Bagi Teti, semangat dan keinginan kuat Anisa untuk menuntut ilmu adalah obat mujarab untuk membuatnya selalu bersedia mengantar anaknya. Terakhir, saat menerima brosur STMIK Komputama pun, Anisa yang meminta agar didaftarkan.

Anisa sendiri selama dua hari orientasi memang tak terlampau banyak beraktivitas. Dia lebih banyak duduk, baik saat acara maupun jam istirahat.

Sebenarnya, dia sudah terbiasa menggunakan kursi roda. Namun, beberapa sarana tengah diperbaiki agar Anisa bisa bergerak memakai kursi roda.

Ketua STMIK Komputama, Dr Fathul Aminudin Aziz mengatakan, kampus sejak awal sudah menyiapkan sarana ramah difabel. Jalan masuk, tangga, dan beberapa infrastruktur lainnya dibangun agar mudah diakses.

Tahun ini, kampus juga memberikan beasiswa penuh bagi anak yatim piatu dan memberi keringanan biaya untuk kalangan tak mampu.

"Pendidikan tinggi harus bisa diakses oleh semua orang, baik kaya maupun miskin," Aziz menjelaskan.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya